Selasa, 14 Agustus 2012

Inspirasi dari Sang Menteri : Dedikasi Hidup untuk Pengabdian


Resensi Buku Biografi


\

                   Judul Buku             : Tiga Kota Satu Pengabdian : Jejak Perjalanan Yahya A. Muhaimin
                   Penulis                   : Badruzzaman Busyairi 
                   Penerbit                 : Tiara Wacana
       Tebal Halaman       : 350 halaman
       Cetakan Pertama    : Mei 2012

“Anak luar biasa dari Dukuhturi ini membuat lompatan quantum sampai tiga kali dalam waktu relatif singkat. Sekali ketika ia sebagai teenager santri langsung mendarat di bible belt Amerika Serikat. Lompatan kedua dilakukannya dari UGM ke MIT. Yang benar-benar ajaib adalah lompatannya dari status dosen menjadi menteri. Sungguh pantas dibuatkan biografi.”
                                                                                                                    Nono Anwar Makarim

Jika selama ini anda  termasuk orang yang enggan untuk membaca buku biografi atau beranggapan bahwa membaca biografi tidaklah semenarik membaca buku lainnya, mungkin ada baiknya anda mulai mempertimbangkan ulang pemikiran anda tersebut. Buku biogafi yang berjudul “Tiga Kota Satu Pengabdian” Jejak Perjalanan Yahya A. Muhaimin merupakan salah satu contoh buku biografi yang kiranya dapat mengubah pemikiran anda tersebut. Badruzzaman Busyairi, penulis buku biografi ini, dengan apik menulis petualangan hidup seorang tokoh besar Indonesia, Prof. Dr. Yahya Abdul Muhaimin, seorang guru besar UGM yang juga merupakan mantan Menteri Pendidikan Nasional pada era pemerintahan Gusdur (1999-2001).
Dalam buku biografi ini, Badruzzaman Busyairi berhasil membawa pembaca hanyut dalam kisah kehidupan Yahya A. Muhaimin yang inspiratif, diantaranya dengan memahami tiga dimensi kehidupan Yahya yakni mulai dari perjalanan akademik, kehidupan sosial politik, dan atmosfer humanitasnya. Dengan bahasanya yang lugas dan mudah dimengerti, penulis membuat pembaca seolah-olah sedang  menikmati sebuah novel, lengkap mulai dari kisah lucu Yahya  saat masih berada di desa kecil Bumiayu, diselingi kisah romantis Yahya ketika bertemu dengan istrinya hingga lika liku perjalanan kariernya sampai beliau bisa menjabat sebagai Menteri Pendidikan Nasional Indonesia pada era pemerintahan Gusdur. Yahya yang juga merupakan lulusan dari MIT (Massachusetts Institute of Technology) Amerika serikat ini, tercatat telah sekitar 40 tahun mendedikasikan dirinya di dunia pendidikan, tidak hanya di satu kota saja namun sekaligus di beberapa kota seperti Yogyakarta, Bumi Ayu (Jawa tengah) dan juga Jakarta. Mungkin Itu jugalah alasan mengapa buku ini diberi judul Tiga kota satu pengabdian.
Selain itu, di buku ini juga diceritakan bagaimana kisah persahabatan Yahya Muhaimin dengan Amien Rais yang tetap terjaga baik bahkan hingga akan mencapai 50 tahun pada tahun 2013 nanti. Buku ini juga menjawab berbagai pertanyaan menyangkut kehidupan Yahya Muhaimin termasuk juga tuduhan plagiarisme kepadanya. Dibuku ini dikisahkan bagaimana Yahya dengan sabar menghadapi tuduhan plagiarisme atas disertasinya di MIT yang berjudul Indonesia Economic Policy , 1950-1980: The Politics of Client Businessmen. Untuk membersihkan nama baiknya, Yahya  melakukan korespodensi dengan pihak MIT, yakni Department of Political Science dan Dean of Graduate school, serta Committee on Academic Responsibility, dimana dalam kesempatan tersebut ia menjelaskan hal-hal yang dituduhkan hingga akhirnya disertasi Yahya dinyatakan acceptable dan catatan-catatan  klarifikasi dari Yahya dicantumkan sebagai bagian penyempurnaan dari disertasi tersebut.
Lebih jauh, melalui buku ini juga kita bisa sekaligus belajar mengenai perpolitikan Indonesia, misal mengenai dinamika pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid serta sejarah keterlibatan militer dalam politik. Bahkan, diakhir buku biografi terdapat ringkasan dari dua buah pemikiran dan gagasan Yahya Muhaimin yakni dari buku Bisnis dan Politik : Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia tahun 1950- 1980 yang merupakan hasil disertasinya untuk memperoleh gelar doktor dari MIT, sedangkan satu lagi adalah ringkasan dari buku beliau yang berjudul Perkembangan Militer dalam Politik Indonesia 1945-1966. Buku itu  merupakan hasil penelitian skripsi beliau ketika S1 di HI UGM dan pernah mendapat penghargaan sebagai skripsi terbaik dari pihak almamater UGM pada tahun 1973. Untuk menulis skripsinya itu juga, selama kurang lebih dua belas bulan beliau  dengan tekun mencari literatur di berbagai tempat, mulai dari Yogyakarta, Bandung dan Jakarta, mengingat pada masa itu buku-buku ilmiah mengenai politik dan militer masih sangat terbatas.
Ketekunan seta konsistensi beliau dalam mengerjakan segala sesuatu nya inilah yang hendaknya dapat menjadi pembelajaran bagi kita semua, khususnya sebagai seorang mahasiswa, calon pemimpin bangsa. Pengalaman Yahya A. Muhaimin saat menjadi mahasiswa yang tidak hanya pintar secara akademis namun juga aktif di berbagai organisasi, hendaknya dapat menjadi tauladan bagi para generasi muda saat ini. Walaupun begitu, seperti kata pepatah tidak ada sesuatu yang sempurna, begitu juga dengan buku ini. Dengan alur maju dalam penulisannya, penulis sebenarnya telah cukup baik menceritakan sejarah kehidupan Yahya A.Muhaimin ini dengan runut, hanya saja terkadang terjadi beberapa kali pengulangan informasi atau cerita sehingga dapat membuat pembaca menjadi jenuh. Terlepas dari itu, buku ini tetaplah merupakan suatu karya inspiratif yang kaya akan pembelajaran. Kisah hidup Yahya dengan berbagai tantangannya mulai dari masa kecil, mahasiswa bahkan hingga mencapai puncak karirnya kiranya dapat menjadi inspirasi bagi para mahasiswa Indonesia yang ingin mencapai kesuksesan dalam hidupnya. Jadi tunggu apa lagi, bagi anda yang ingin belajar  berbagai nilai kehidupan melalui pengalaman Yahya A. Muhaimin ini serta sekaligus mendapatkan pengetahuan terkait perpolitikan dan sejarah militer politik Indonesia, mungkin ini saat yang tepat bagi anda untuk segera membaca buku ini.*** (Ratu)

“ Setiap orang pernah berbuat kesalahan, dan sebaik-baiknya orang adalah orang yang berbuat kesalahan namun mau segera memperbaiki kesalahannya”

                                                                                                                      Yahya A. Muhaimin


Tulisan dibuat untuk mengisi salah satu rubrik di Buletin HMI komisariat Fisipol UGM






Senin, 13 Agustus 2012

ANALISIS PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN AUSTRALIA DI PARLEMEN NASIONAL PADA TAHUN 2010


ANALISIS PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN AUSTRALIA
DI PARLEMEN NASIONAL PADA TAHUN 2010

“...pembangunan yang utuh dan menyeluruh dari suatu negara, kesejahteraan dunia
dan perjuangan menjaga perdamaian menuntut partisipasi penuh kaum perempuan
dalam kedudukan yang sejajar dengan laki-laki dalam segala bidang.

   Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
                                                                                    terhadap Perempuan, tahun 1979

Kutipan diatas merupakan salah satu potongan dari isi konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (The UN Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women  - CEDAW) yang disahkan dan diterima oleh Dewan Umum PBB pada tahun 1979. Saat ini setidaknya sudah ada lebih dari 170 negara yang telah meratifikasinya, termasuk juga Australia. [1]
 Dengan meratifikasi konvensi ini, sudah seharusnya Australia melakukan berbagai tindakan yang dapat membantu terwujudnya kesetaraan perempuan dan laki-laki di berbagai bidang termasuk juga di bidang politik, salah satunya yaitu dengan mendorong tingkat keterwakilan perempuan di parlemen. Seperti yang diketahui, parlemen merupakan pusat segala kegiatan politik bagi Australia, dilembaga inilah semua keputusan yang menyentuh kehidupan masyarakat, pemerintahan, dan kenegaraan dibuat. Di lembaga-lembaga ini pulalah anggota-anggota terpilih dari partai-partai politik utama mendiskusikan dan sekaligus berdebat tentang semua aturan yang mengikat dan berpengaruh bagi anggota masyarakat dan juga sedikit banyak tentunya akan menyumbang kepada pembentukan  karakter masyarakat Australia.
 Melihat pentingnya peran dari parlemen ini, maka sudah sewajarnya dibutuhkan keseimbangan partisipasi politik dari anggotanya baik itu perempuan maupun laki-laki sehingga bisa tercapainya kepentingan serta kesejahteraan bagi semua golongan. Tetapi sayangnya saat ini berdasarkan fakta yang ada rata-rata keterwakilan perempuan pada parlemen di seluruh dunia hanyalah 18,3 persen.[2]. Hal ini ironis sekali mengingat jumlah wanita merupakan setengah dari seluruh populasi manusia di dunia dan tentunya memiliki berbagai macam kepentingan dan permasalahan yang harus diselesaikan.[3]   Oleh karena itulah dalam perkembangannya negara-negara di dunia mulai memikirkan suatu tindakan yang dirasa dapat membantu meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen salah satunya seperti dengan memberikan kuota tertentu bagi perempuan di parlemen, seperti hal nya yang dilakukan Rwanda. Hal ini terbukti efektif dalam meningkatkan jumlah perwakilan perempuan di parlemen bahkan berdasarka survey yang dilakukan oleh Inter Parliamentary Union pada 2010 lalu, dari 188 negara Rwanda berhasil menempati peringkat pertama negara dengan tingkat keterwakilan perempuan paling tinggi.[4]
Dalam esai ini, penulis akan membahas mengenai partisipasi politik perempuan Australia di parlemen nasionalnya pada tahun 2010 yang tercatat cukup baik dan terlihat  mengalami peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Padahal, Australia sampai saat ini tidak memiliki peraturan nasional yang menetapkan rekomendasi pemberian kuota untuk perempuan di parlemen. Satu-satunya partai di Australia yang tercatat telah memperkenalkan kuota untuk meningkatkan partisipasi perempuan hanyalah Australian Labour Party (ALP) atau biasa disebut Partai Buruh Australia .
Hal lainnya, bahkan tingkat partisipasi perempuan di parlemen Australia pun lebih tinggi daripada tingkat partisipasi perempuan di parlemen di Indonesia. Hal ini kemudian menjadi menarik untuk dianalisis mengingat Indonesia padahal telah membuat peraturan nasional yang merekomendasikan pemberian kuota gender secara nasional bagi setiap partai politik yang ingin mengikuti pemilu. Oleh karena itulah kemudian penulis akan menganalisis faktor-faktor apa saja yang membuat Australia berhasil memperoleh pencapaian sebaik itu bahkan tanpa adanya peraturan nasional tentang pemberian kuota sekalipun.
Dalam esai ini penulis akan menggunakan konsep Structural Functional Approach yang dikemukakan oleh ilmuwan politik Gabriel Almond dan Bingham Powell. Mereka berargumen bahwa untuk membandingkan suatu sistem politik sebaiknya tidak hanya melalui strukturnya saja, tetapi juga fungsinya Dengan memahami fungsi-fungsi yang berjalan dalam struktur tersebut, kita bisa membandingkan berbagai sistem politik dengan lebih baik. Kita dapat memperoleh lebih banyak informasi bila kita memisahkan struktur dari fungsi, dan menelaah hubungan keduanya dalam berbagai sistem politik yang berbeda.[5]
Seperti yang diketahui. parlemen Australia terdiri atas dua majelis yaitu majelis rendah yang disebut dengan House of Representatives (HoR)  dan majelis tinggi yang disebut senate (senat). [6] Kedua majelis ini memiliki peran yang sama-sama penting  dalam proses pembuatan kebijakan di Australia. Pada pemilu yang dilakukan pada tahun 2010 lalu, partisipasi politik perempuan Australia di parlemen terhitung cukup baik bila dibandingkan dengan negara lain. Tercatat jumlah wanita yang terpilih di HoR adalah 37 orang dari total 150 anggota Hor atau setara dengan 24, 7 persen.  Sedangkan di senat, jumlah perempuan yang terpilih adalah 27 orang dari 76 kursi yang tersedia atau setara dengan 35,5 persen.[7]
Angka ini tercatat mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Bila dibandingkan dengan pemilu 10 tahun yang sebelumnya pada tahun 2000, terjadi peningkatan jumlah keterwakilan perempuan yang cukup baik di senat yaitu dari 28,9 persen menjadi 35, 5 persen. Sedangkan peningkatan jumlah anggota perempuan di House of Representative tidak terlalu tinggi, yaitu dari 23 persen menjadi 24,7 persen.[8] Bahkan berdasarkan survey yang dilakukan oleh Inter Parliamentary Union pada 2010 lalu, dari 188 negara Australia berhasil menduduki peringkat ke 29 negara dengan tingkat partisipasi politik perempuan tertinggi di parlemen nasionalnya.[9]
Mengingat Australia sebenarnya bahkan tidak memiliki peraturan nasional yang sangat mendorong keterwakilan perempuan di parlemen seperti dengan pemberian kuota, tentunya pencapaian ini merupakan suatu hal yang sangat membanggakan. Terlebihnya sebenarnya bila diperhatikan lebih lanjut sistem pemilu di Australia tidaklah menguntungkan bagi peningkatan jumlah perempuan di parlemen. Sistem pemilu  Australia yang menganut sistem single majority atau Single Member District (SMD) sebagai bagian dari warisan kolonial Inggris pada faktanya telah menghalangi peran perempuan untuk melangkah maju atau terpilih sebagai kandidat. Hal ini disebabkan karena sistem pemilu ini hanya mengizinkan satu anggota parlemen untuk mewakili satu daerah pemilihan sehingga kesempatan perempuan untuk terpilih pun semakin kecil[10]
Tetapi untungnya sistem ini hanya berlaku bagi pemilihan anggota majelis rendah federal (House of representatives) dan sebagian besar parlemen negara bagian. Sedangkan untuk pemilihan senator di tingkat federal, diberlakukan sistem pemilu proportional representation atau perwakilan berimbang yang memungkinkan setiap daerah pemilihan memiliki lebih dari satu anggota parlemen atau yang dikenal dengan sistem multi-member constituency.[11] Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan mengapa pada pemilu tahun 2010 lalu jumlah perwakilan perempuan di senat lebih banyak daripada di HoR.
Setidaknya terdapat 2 faktor yang menyebabkan mengapa tingkat perwakilan partisipasi perempuan Australia di parlemen tetap mengalami peningkatan dari tahun ke tahun serta bahkan mencapai pencapaian yang lebih tinggi  dibandingkan dengan negara lain, meskipun masih terdapat sistem pemilu distrik yang diberlakukan di beberapa pemilu  serta tanpa perlu membuat peraturan nasional yang memberikan kuota bagi perempuan dalam tiap daftar kandidat partai politik yang mengikuti pemilu.
Faktor yang pertama adalah faktor tingkat pendidikan di Australia yang sudah cukup baik di semua lapisan masyarakat Australia. Bahkan pendidikan di Australia telah sampai pada perkembangan dimana lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki yang dididik di sekolah menengah dan universitas, dan jumlah wanita yang lulus dari universitas dengan gelar sarjana pun lebih banyak dari laki-laki . Pada tahun 2006, perempuan menyumbang 54,8 persen dari semua siswa pendidikan tinggi dan 47,5 persen dari semua siswa yang terdaftar dalam pendidikan kejuruan dan pelatihan. [12]
Sedangkan untuk data di perguruan tinggi, pada bulan Mei 2008 lalu, tercatat 7.470.000 warga Australia yang masuk ke perguruan tinggi dimana 3.650.000. diantaranya adalah wanita[13]. Selain itu, berdasarkan survey dilakukan pada 2009 lalu jumlah perempuan yang mengambil jurusan sosial seperti politk di perguruan tinggi pun bahkan lebih tinggi daripada laki-laki. Minat perempuan Australia yang tinggi dibidang sosial seperti ini lah yang kemudian juga dapat menjadi salah satu pendorong bagi mereka untuk terlibat dalam bidang politik, salah satunya dengan menjadi anggota parlemen.
Selain itu, pemerintah Australia juga aktif dalam memberikan kemudahan-kemudahan dalam mengakses pendidikan disana, seperti biaya pendidikan dan sebagainya, yang mengantarkan Australia pada peringkat ke 12 negara dengan sistem pendidikan tinggi yang paling terjangkau berdasarkan Global Higher Education Report pada tahun 2005. Australia bahkan berada satu tingkat di atas Amerika Serikat.[14] Kemudahan-kemudahan ini tentu saja akan membantu memudahkan akses bagi rakyat Australia tidak terkecuali perempuan untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik.
Dengan kualitas pendidikan yang baik pada perempuan di Australia tersebut pada akhirnya telah menghasilkan sumber daya perempuan yang berkualitas pula. Dengan pendidikannya yang tinggi tersebut mereka tidak perlu lagi merasa takut untuk bersaing dengan laki-laki di berbagai bidang termasuk juga bidang politik. . Pendidikan tersebut telah membuka pikiran para perempuan di Australia sehingga mereka semakin tertarik untuk terjun ke dunia politik.  Kesempatan mereka untuk bisa mencalonkan diri bahkan terpilih di parlemen pun semakin besar Seperti yang dikatakan oleh Richard E. Matland bahwa bagi perempuan agar terpilih masuk ke parlemen, setidaknya mereka harus melalui tiga rintangan krusial, pertama, mereka perlu menyeleksi dirinya sendiri untuk pencalonan. Kedua, mereka perlu diseleksi sebagai kandidat oleh partai, dan ketiga, mereka perlu diseleksi oleh pemilih.[15]
Denga adanya pendidikan yang baik di Australia ini bisa kita lihat telah sangat membantu wanita Australia untuk melewati tiga tantangan tersebut. Mulai dari tantangan menyeleksi diri sendiri dimana pendidikan yang mereka peroleh telah membantu meningkatkan kepercayaan diri mereka serta mengurangi pola pikir yang sering berkembang di masyarakat bahwa perempuan lebih rendah daripada daripada laki-laki serta tidak cocok untuk masuk ke dunia politik. Dengan pendidikan yang baik ini juga tentunya telah menyebabkan para perempuan ini akan lebih terkualifikasi untuk terpilih menjadi anggota parlemen baik dari seleksi partai politik maupun dari pemilih sendiri.
Pendidikan yang berkualitas bagi penduduk Australia ini juga telah  memberikan pemahaman yang lebih baik bagi para pemilih di Ausralia akan pentingnya kesetaraan gender dalam parlemen agar kepentingan rakyat dari berbagai lapisan dapat terpenuhi. Terlebih lagi pendidikan yang baik juga telah melahirkan berbagai macam gerakan perempuan yang dapat melobi partai politik serta mempengaruhi pemilih untuk memilih perwakilan perempuan di parlemen. Salah satu gerakan perempuan yang hingga saat ini aktif memperjuangkan kepentingan perempuan serta mengkampanyekan pentingnya kesetaran gender di berbagai bidang adalah Women Electoral Lobby.[16] Tidak hanya sampai level parlemen saja, Australia bahkan pada tahun 2010 lalu telah memiliki perdana menteri perempuan pertamanya yaitu Julia Gillard. Tingginya tingkat pendidikan pada perempuan di Australia inilah yang menurut penulis menjadi faktor yang paling penting sehingga menyebabkan Australia dapat memperoleh pencapaian tingkat partisipasi politik perempuan yang cukup tinggi di parlemennya.
Faktor yang kedua adalah adanya dukungan serta usaha-usaha dari partai-partai politik di Australia untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen. Walaupun cara-cara yang dilakukan partai-partai ini berbeda-beda serta pemerintah Australia sendiri belum membuat sistem pemberian kuota secara nasional, tetapi tetap saja usaha-usaha yang dilakukan partai politik ini tidak dapat diabaikan begitu saja karena pada kenyatannya usaha tersebut telah memberikan kontribusi yang baik bagi peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen.
Seperti yang diketahui, partai buruh merupakan satu-satunya partai di Australia yang telah memperkenalkan kuota untuk meningkatkan partisipasi perempuan di parlemen.  Secara resmi kuota ini diperkenalkan pada tahun 1994, dimana 35% wanita  harus terpilih untuk kursi yang dapat dimenangkan pada tahun 2002, dan akan meningkat menjadi 40% pada tahun 2012.[17] Oleh karena itulah , tidak heran bila hingga saat ini partai  Buruh memiliki tingkat keterwakilan perempuan  tertinggi dengan rata-rata 37%, dibandingkan dengan Partai Liberal dengan 22,1% dan Nationals dengan 15,4%.[18]
Walaupun begitu partai-partai lainnya pun seperti Partai liberal dan partai nasional tanpa harus memberikan sistem kuota tetap mendukung keterwakilan politik perempuan di parlemen dengan cara lainnya seperti mentoring, networking program, dan seminar keterampilan.[19] Setidaknya dengan adanya peningkatan jumlah keterwakilan perempuan di partai tersebut, kemudian akan membawa kesempatan yang lebih besar lagi bagi perempuan-perempuan tersebut untuk dapat terpilih di parlemen dan memperjuangkan berbagai kepentingan serta masalah-masalah yang sering menimpa kaum perempuan, seperti diskriminasi, kekerasan dalam rumah tangga dan sebagainya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat berbagai faktor-faktor yang menyebabkan tingginya  partisipasi politik perempuan Australia di parlemen yaitu pendidikan yang baik serta dukungan dari partai-partai politik di Australia. Kita bisa melihat dan menyimpulkan bahwa struktur-struktur yang dapat mempengaruhi peningkatan partisipasi politik perempuan di parlemen itu, yaitu pendidikan dan partai politik telah menjalankan perannya dengan baik.. Fungsi-fungsi yang berjalan pada struktur pendidikan serta partai politik tersebut telah dijalankan dengan cukup efektif sehingga berhasil membantu meningkatkan partisipasi perempuan Australia di parlemen.
Walaupun begitu kedepannya Australia masih harus melakukan berbagai perbaikan lainnya, mengingat Australia belum mencapai 40 persen keterwakilan perempuannya di parlemen. Perbaikan ini bisa perubahan sistem pemilu sehingga bisa lebih menguntungkan bagi keterwakilan perempuan serta pembuatan peraturan yang menerapkan pemeberian kuota bagi perempuan di parlemen seperti hal nya yang dilakukan di Rwanda. Dengan dilakukannya perbaikan-perbaikan tersebut, diharapkan kedepannya akan terbentuk critical mass perempuan atau basis kekuatan massa  perempuan yang cukup banyak di parlemen sehingga dapat  menghancurkan diskriminasi gender dan pada jumlah yang substansial dapat menembus benteng utama dalam pembuatan kebijakan sehingga perempuan lebih dapat memperjuangkan kepentingannya sendiri.










DAFTAR PUSTAKA
Australian Bureau of Statistics, Education and Work, May 2008, Catalogue No. 6227.0, ABS, Canberra, 2008, Table 8. The reference population is those aged 15-64 years

Drabsch, T, ‘Women in Parliament: The current Situation,’ New South Wales Parliamentary Library Research Service, Briefing Paper No 9/03 (2003) at p15

Inter-Parliamentary Union, Women in Parliament in 2007: The Year in Perspective, SADAG Publishing, France,
2008 p. 1.

M. Budiardjo,. Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama,Jakarta, 2003,p. 316.

Scott v Gray [1999] HREOCA 15; Orr, G, (2000) ‘The Law Comes to the Party; the Continuing Juridification of Political Parties in Australia,’ 3 Constitutional Law and Policy Review 41 at p45
 Z.Hamid, Sistem Politik Australia, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999,p.50.

Sumber online

Department of foreign affairs and trade,  Women towards equality, (online), 2010, <http://www.dfat.gov.au/facts/women.html>, diakses tanggal 5 Januari 2012

Division for the Advancement of Women, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women, (online),2007,<http://www.un.org/womenwatch/daw/cedaw/reports.htm> diakses tanggal 4 Januari 2012.

Educational Policy Institute, Global Higher Education Educational Policy Institute, Ranking, 2005, <http://www.educationalpolicy.org/pdf/global2005.pdf> diakses tanggal 5 Januari 2012.

Inter-Parliamentary Union, ‘Women in National Parliaments,’ (2011) < http://www.ipu.org/wmn-e/classif.htm> diakses tanggal 4 Januari 2012.


R.E. Matland, International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance ,Meningkatkan Partisipasi Politik Perempuan: Rekrutmen Legislatif dan Sistem Pemilihan,(online),<http://www.idea.int/publications/wip/upload/Chapter3.pdf>diakses tanggal 5 Januari 2012.

Women Electoral Lobby, History of Woman Electoral Lobby, (online),<http://wel.org.au/index.php/who-we-are/our-history/> diakses tanggal 4 Januari 2012.











[1] Division for the Advancement of Women, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women, (online),2007,<http://www.un.org/womenwatch/daw/cedaw/reports.htm> diakses tanggal 4 Januari 2012.

[2] Inter-Parliamentary Union, Women in Parliament in 2007: The Year in Perspective, SADAG Publishing, France,
2008 p. 1.
[3] As of 2010 there will be 101.7 males per 100 females: United Nations Department of Economic and Social
Affairs, Population Division, World Population Prospects: The 2008 Revision Population Database, United
Nations <http://www.esa.un.org/unpp/p20kdata.asp>, diakses tanggal 4 Januari 2012.
[4] Inter-Parliamentary Union, ‘Women in National Parliaments,’ (2011) < http://www.ipu.org/wmn-e/classif.htm> diakses tanggal 4 Januari 2012.


[5] G.A. Almond. ‘Studi Perbandingan Sistem Politik’,  dalam Mohtar Masoed dan Colon MacAndrews(eds),Perbandingan Sistem Politik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2006,p.32.
[6] Z.Hamid, Sistem Politik Australia, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999,p.50.
[7] Inter-Parliamentary Union, ‘Women in National Parliaments,’ (2011) < http://www.ipu.org/wmn-e/classif.htm> diakses tanggal 4 Januari 2012.

[9] Inter-Parliamentary Union, ‘Women in National Parliaments,’ (2011) < http://www.ipu.org/wmn-e/classif.htm> diakses tanggal 4 Januari 2012.

[10] Drabsch, T, ‘Women in Parliament: The current Situation,’ New South Wales Parliamentary Library
Research Service, Briefing Paper No 9/03 (2003) at p15
[11] Z.Hamid, Sistem Politik Australia, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999,p.144-145.

[12]Department of foreign affairs and trade,  Women towards equality, (online), 2010, <http://www.dfat.gov.au/facts/women.html>, diakses tanggal 5 Januari 2012

[13] Australian Bureau of Statistics, Education and Work, May 2008, Catalogue No. 6227.0, ABS, Canberra, 2008, Table 8. The reference population is those aged 15-64 years
[14] Educational Policy Institute, Global Higher Education Educational Policy Institute, Ranking, 2005, <http://www.educationalpolicy.org/pdf/global2005.pdf> diakses tanggal 5 Januari 2012.
[15]R.E. Matland, International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance ,Meningkatkan Partisipasi Politik Perempuan: Rekrutmen Legislatif dan Sistem Pemilihan,(online),<http://www.idea.int/publications/wip/upload/Chapter3.pdf>diakses tanggal 5 Januari 2012.
[16] Women Electoral Lobby, History of Woman Electoral Lobby, (online),<http://wel.org.au/index.php/who-we-are/our-history/> diakses tanggal 4 Januari 2012.
[17] Drabsch, T, ‘Women in Parliament: The current Situation,’ New South Wales Parliamentary Library
Research Service, Briefing Paper No 9/03 (2003) at p21
[18] Wilson, J, ‘Composition of Australian Parliaments by Party and Gender,’ (2009) <www.aph.gov.au>
Diakses tanggal 4 Januari 2012.
[19]  Drabsch, T, ‘Women in Parliament: The current Situation,’ New South Wales Parliamentary Library
Research Service, Briefing Paper No 9/03 (2003) at p31                     

Selasa, 07 Agustus 2012

Inspired to be Inspiring


Terinspirasi untuk Menginspirasi


“Hidup memang hanya sekali, namun bila anda ingin hidup dua kali, maka menulislah”

            Entah pernah mendengar atau pernah membaca nya dimana, tapi yang pasti kutipan diatas telah berhasil membuat saya untuk terus menulis. Belajar untuk terus belajar. Begitu hebatnya menulis hingga bisa dikategorikan sebagai menapaki hidup yang kedua kalinya bagi seorang manusia. Betapa tidak ketika kita menulis, kita telah mengungkapkan suatu pemikiran atau ide yang telah kita miliki sebelumnya. Bahkan melalui tulisan curhat sekalipun telah memberikan kesempatan bagi penulisnya untuk mereview kembali kisah hidupnya, dan kemudian akhirnya dapat menarik suatu pembelajaran dari itu. Melalui menulis juga kita bisa berbagi, memberikan manfaat bagi orang lain, bahkan bila anda “beruntung” anda bisa menginspirasi orang lain. Mengapa beruntung? Karena hanya mereka yang diberikan kepekaan oleh Tuhan lah yang mampu dan mau melakukan sesuatu bagi orang lain. Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang bisa memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi orang banyak.  Jadi alangkah menakjubkannya sebenarnya manfaat dari menulis ini, namun sayangnya tidak banyak yang mau meluangkan waktu untuk itu.
Jujur , saya sendiri bukanlah seseorang yang rajin menulis sebelumnya. Tulisan saya selama ini kebanyakan hanya sebatas tulisan akademik saja yang saya buat demi memenuhi tugas sekolah ataupun tugas kuliah. Itupun terkadang dibuat ala kadarnya dan terdorong oleh deadline yang begitu padat.  Sebelumnya, saya juga bukan lah termasuk tipe orang yang suka menulis di blog, tumblr dan sebagainya. Saya lebih suka berbicara langsung untuk mengungkapkan apa yang saya pikirkan. Bagi saya menulis hanya membuang waktu, tapi itu dulu. Sebelum saya terinspirasi untuk menginspirasi orang lain.
Masa perkuliahan merupakan suatu momentum yang sangat berkesan bagi saya.  Selain  karena itu merupakan pengalaman pertama saya untuk hidup merantau jauh dari keluarga,  pada masa itu juga lah saya memiliki kesempatan untuk bertemu dengan berbagai orang hebat lainnya yang kemudian dapat berpengaruh pada perubahan yang lebih baik bagi diri saya. Disini saya bergabung dengan berbagai organisasi intra maupun ekstra kampus. Saya yang awalnya apatis dan tidak begitu peduli dengan berbagai kegiatan di sekeliling saya tergerak hatinya melihat perjuangan, pengabdian dan prestasi orang-orang disekitar saya.
Saya terinspirasi melihat bagaimana mahasiswa lainnya yang seumuran dengan saya namun telah melakukan berbagai macam hal yang bermanfaat bagi orang lain. Sebut saja si A yang bersama dengan organisasi sosialnya aktif  melakukan berbagai macam kegiatan sosial seperti mencari donor darah untuk anak-anak penderita kanker.  Ada juga si B yang pantang menyerah untuk terus belajar menulis hingga kemampuan menulisnya meningkat dan bahkan berhasil memenangkan lomba menulis essay tingkat nasional. Selain itu ada juga tokoh C, seorang aktivis yang senantiasa ikhlas mengabdi pada masyarakat melakukan berbagai hal demi kemashlahatan umat mulai dari mengajar anak jalanan, hingga turut aktif mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai dapat merugikan rakyat.  Berada di lingkungan seperti itulah yang kemudian menginspirasi saya untuk juga bisa memberikan manfaat sebanyak-banyaknya bagi orang lain, salah satunya dengan menulis. Tapi pertanyaannya kemudian, menulis seperti apa yang dapat memberikan manfaat bagi orang lain? Dalam paham saya, tulisan yang bermanfaat adalah  tulisan positif yang secara ikhlas dan tulus kita buat dengan tujuan untuk membagikan pemikiran maupun pengetahuan yang kita miliki kepada orang lain. Walau itu mungkin hanya sebatas tulisan curhat mengenai pengalaman menyedihkan anda, namun mungkin saja tanpa sepengetahuan anda seseorang telah mengambil pembelajaran dari itu. Mungkin saja melalui tulisan anda, ada seseorang yang tidak lagi merasa sendiri ketika ia menyadari bahwa  ada orang lain yang senasib dengannya. Bila tulisan anda berupa motivasi-motivasi yang meneduhkan hati atau mungkin berupa cerita kesuksesan anda, mungkin saja  akan ada seseorang yang termotivasi bangkit dari keterpurukannya dan kemudian merasa terinspirasi untuk melakukan hal yang sama seperti yang anda lakukan. Kemungkinan-kemungkinan itu akan selalu ada, dan anda tidak akan pernah tahu bila anda tidak pernah mencoba.
Keikutsertaan saya dalam suatu organisasi mahasiswa ekstra kampus, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) komisariat Fisipol UGM juga telah memberikan berkah tersendiri bagi saya dalam mendorong minat saya untuk menulis. Dengan bergabung di HMI yang telah berdiri sejak tahun 1947 ini, telah mengajarkan saya mengenai keikhlasan dari suatu pengabdian. Saya masih ingat kata-kata seorang senior saya di HMI, bahwa tidak selamanya kita harus menuntut sesuatu dari apa yang kita geluti, tapi yang lebih penting adalah bagaimana kita dapat dengan ikhlas memberikan manfaat untuk itu. Di organisasi ini juga saya di percaya untuk menjadi Ketua Bidang Penelitian dan pengembangan (Litbang) HMI Fisipol UGM periode 2012-2013, yang tentunya semakin mendorong saya untuk terus aktif menulis, terfasilitasi dengan berbagai program kegiatan yang dilakukan, seperti penerbitan buletin,  penulisan hasil diskusi yang telah dilakukan dan sebagainya.
Saya sudah pernah merasakan bagaimana bahagianya terinspirasi melihat perbuatan orang lain yang bermakna, merasa termotivasi dan semakin semangat untuk melakukan hal yang sama bahkan yang lebih baik dari orang tersebut. Oleh karena itulah, saat ini saya juga sedang berjanji pada diri saya sendiri untuk kelak lebih “rajin” menulis,  berbagi cerita, kisah dan pengalaman dengan harapan kelak saya pun juga bisa memberikan manfaat dan menginspirasi orang lain melalui tulisan saya. Anggapan awal saya bahwa menulis di blog akan sia-sia semata, terlebih mengingat  maraknya terjadi plagiarisme yang sering dilakukan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab  seperti dengan mencopy tanpa izin tulisan seseorang di blog pun semakin lama semakin terkikis . Saya sadar bahwa untuk apa kita menulis sesuatu yang berharga apabila hanya dibaca diri sendiri? Bukankah salah satu alasan kita menulis adalah untuk didengarkan orang lain?  Ikhlas dan tulus, itulah jawabannya.
Ikhlas dan tulus itu jugalah yang saya pelajari dari salah satu dosen favorit saya di Hubungan Internasional UGM, yakni Prof. Dr. Yahya Muhaimin. Beliau adalah salah seorang tokoh  yang begitu menginspirasi saya dalam menulis. Beliau pernah mengatakan bahwa menulis bukan hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan atau kepuasan diri sendiri saja, lebih dari itu yakni dengan tujuan yang tulus ikhlas untuk dapat memberikan manfaat dan inspirasi bagi orang lain. Di usia nya yang tidak muda lagi, Pak Yahya yang juga merupakan mantan Menteri Pendidikan di era Gusdur ini tetap semangat untuk memberikan pengetahuannya terkait dengan tata cara menulis yang baik, bahkan beliau juga dengan senang hati akan menerima mahasiswa tingkat satu sekali pun untuk berkonsultasi makalah biasa yang notabenenya belumlah sepenting skripsi. Saya belajar banyak dari tulisan pak Yahya yang jujur dan berbobot, termasuk  salah satunya dari buku beliau yang berjudul Perkembangan Militer dalam Politik Indonesai 1945-1966. Buku itu  merupakan hasil penelitian skripsi Pak yahya ketika S1 di HI UGM dan pernah mendapat penghargaan sebagai skripsi terbaik dari pihak almamater UGM pada tahun 1973. Betapa tidak,  Pak Yahya merupakan orang kampus pertama yang menulis penulisan ilmiah terkait dengan peranan militer di Indonesia. Bahkan secara ilmiah banyak kalangan civitas akademika dan kaum terpelajar yang memuji skripsi Pak Yahya sebagai karya monumental. Untuk menulis skripsinya itu juga, selama kurang lebih dua belas bulan Pak Yahya dengan tekun mencari literatur di berbagai tempat, mulai dari Yogyakarta, Bandung dan Jakarta, mengingat pada masa itu buku-buku ilmiah mengenai politik dan militer masih sangat terbatas. Ketekunan dan sifat pantang menyerah seperti inilah yang saya rasa hendaknya harus ditiru oleh para mahasiswa saat ini.  Kesempatan yang saya dapatkan untuk bisa menjadi salah satu tutor di salah satu mata kuliah yang beliau ampu juga telah memberikan motivasi tersendiri bagi saya untuk terus memberikan yang terbaik dalam berbagai hal termasuk menulis.
Begitulah cerita singkat  dari saya terkait dengan hal tulis-menulis ini. Saya rasa tidak ada waktu yang tepat kecuali sekarang untuk bergerak dan mulai menulis cerita anda sendiri. Saya telah merasakan keberuntungan dengan terinspirasi dari tindakan maupun tulisan orang lain, dan kedepannya saya akan terus berusaha untuk memberikan manfaat dan inspirasi bagi orang lain, baik itu melalui tindakan langsung maupun sekedar melalui tulisan. Sederhana tapi bermakna, bagiku itulah arti menulis. Ini tulisanku, mana tulisanmu?***