Jumat, 04 Januari 2013

Perbandingan Partisipasi Politik Perempuan di Parlemen Nasional antara Indonesia tahun 2009 dan dan Australia tahun 2010


           Paper ini disusun untuk memenuhi tugas pengganti UAS mata kuliah perbandingan politik 2011 lalu, dan mudah-mudahan bisa memberikan sedikit pencerahan bagi teman-teman kelas perpol A yang saat ini sedang giat-giatnya ngerjain papernya hehe.  Oh ya beberapa bagan mungkin tidak bisa dibuka, jadi silakan merujuk pada footnote yang saya berikan di bawahnya. Maaf baru bisa ngepost sekarang. Semangat. :"")


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
            Parlemen atau bisa juga disebut badan legislatif merupakan suatu badan yang berada disuatu negara  yang merupakan simbol dari rakyat yang berdaulat. Parlemen di negara-negara demokratis disusun sedemikian rupa sehingga ia mewakili mayoritas rakyat dan pemerintah bertanggung jawab kepadanya. [1] Parlemen dalam suatu negara biasanya memiliki fungsi yang sangat penting seperti menentukan kebijakan dan membuat undang-undang  serta mengontrol badan eksekutif agar semua tindakan badan eksekutif sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan. Kebijakan yang dibuat oleh parlemen ini dapat sangat beragam mulai dari bidang ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya yang tentunya akan secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kehidupan rakyat banyak. Melihat peran parlemen yang sangat penting tersebut, maka penting sekali dibutuhkan keseimbangan partisipasi politik dari anggotanya baik itu perempuan maupun laki-laki. Tetapi sayangnya saat ini berdasarkan fakta yang ada rata-rata keterwakilan perempuan pada parlemen di seluruh dunia hanyalah 18,3 persen.[2]. Hal ini ironis sekali mengingat jumlah wanita merupakan setengah dari seluruh populasi manusia di dunia.[3]
Indonesia dan Australia sebagai negara yang mengaku demokratis tentunya juga harus peduli pada tingkat partisipasi politik perempuannya di parlemen. Hal ini dikarenakan berdasarkan pengalaman menunjukkan bahwa partisipasi perempuan yang rendah di bidang politik dan pemerintah akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas kebijakan publik yang responsif terhadap gender yang menyangkut baik laki-laki maupun perempuan.[4] Ketika jumlah perempuan yang terlibat di parlemen semakin banyak, maka diharapkan mereka dapat memperjuangkan kepentingannya sendiri karena pada dasarnya yang mengetahui kepentingan dari kelompok perempuan adalah mereka sendiri.
Dalam paper ini penulis akan membandingkan partisipasi perempuan di parlemen antara Indonesia pada tahun 2009 dengan Australia pada tahun 2010. Sejak lama kedua negara memang telah memperjuangkan peningkatan partisipasi perempuannya di parlemen. Bahkan Indonesia pada awalnya telah membuat kemajuan yang lebih baik dari Australia yaitu dengan membuat UU pada tahun 2003 yang merekomendasikan parta politik untuk memberikan kuota sebesar 30 persen bagi perempuan dalam pemilu.[5] Sedangkan Australia sendiri sampai saat ini bahkan belum bisa memberikan keberpihakannya pada perempuan sejauh itu dengan memberikan kuota. Hal ini kemudian menjadi menarik untuk dianalisis ketika data menunjukkan bahwa tingkat partisipasi perempuan di parlemen Australia lebih tinggi daripada di Indonesia yan notabenenya telah menerapkan tindakan yang sangat berpihak pada wanita dengan membuat UU tentang kuota tersebut. Untuk menganalisis permasalahan ini maka  penulis merasa penting untuk juga membahas sekilas mengenai perkembangan partisipasi politik perempuan di parlemen pada kedua negara di masa-masa sebelumnya untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan partisipasi politik perempuan parlemen di kedua negara setelah itu.

1.2  Rumusan Masalah
Dalam paper ini penulis mengangkat satu rumusan masalah utama, yaitu “Faktor apakah yang menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat partisipasi politik perempuan di Parlemen antara Indonesia tahun 2009 dan Australia  tahun 2010?”

1.3 Landasan Konseptual
A. Pendekatan Struktural Fungsional
Untuk menganalisa permasalahan yang diangkat, penulis menggunakan konsep Structural Functional Approach. Pendekatan ini dikemukakan oleh ilmuwan politik Gabriel Almond dan Bingham Powell. Mereka berargumen bahwa untuk membandingkan suatu sistem politik sebaiknya tidak hanya melalui strukturnya saja, tetapi juga fungsinya Dengan memahami fungsi-fungsi yang berjalan dalam struktur tersebut, kita bisa membandingkan berbagai sistem politik dengan lebih baik. Kita dapat memperoleh lebih banyak informasi bila kita memisahkan struktur dari fungsi, dan menelaah hubungan keduanya dalam berbagai sistem politik yang berbeda.[6]
B. Budaya Politik
Budaya Politik menurut Gabriel Almond adalah pola sikap dan orientasi warganegara terhadap politik dan pemerintahan kehidupan benegara, penyelenggaraan administrasi negara, hukum, adat istiadat, dan norma kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga dapat di artikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya.[7]

1.4  Hipotesis
      Penulis berhipotesis bahwa setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat partisipasi politik perempuan di parlemen antara Indonesia tahun 2009 dan Australia  tahun 2010 :
a. Tingkat kualitas pendidikan perempuan di Australia yang lebih tinggi dan lebih maju di Australia  telah menyebabkan perempuan disana memiliki kualifikasi yang lebih baik sehingga pencalonan di parlemen dapat berjalan dengan lebih lancar. Sedangkan di Indonesia dengan tingkat pendidikan perempuan yang kurang maksimal, menyebabkan sulitnya perempuan untuk terpilih di parlemen.
b. Adanya budaya-budaya yang masih berkembang di masyarakat yang menganggap bahwa politik adalah urusan laki-laki, dan menganggap wanita lebih pantas memilih urusan lain saja seperti di bidang rumah tangga, kesehatan dan sebagainya. Budaya-budaya seperti inilah yang kemudian juga menjadi stereotip dikalangan perempuan sendiri, sehingga mereka merasa kurangnya berminat untuk terlibat dalam bidang politik.



BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Sekilas persamaan antara Indonesia dan Australia
            Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya di latar belakang, Indonesia dan Australia merupakan negara yang demokratis yang telah sejak lama peduli pada peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen. Kedua negara juga telah menyadari akan pentingnya keterwakilan perempuan di parlemen guna mencapai kepentingannya serta dapat menyelesaikan berbagai macam permasalahan yang menimpa perempuan, seperti diskriminasi, kekerasan rumah tangga dan sebagainya. Hal ini salah satunya terlihat dari komitmen kedua negara yang sama-sama telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (The UN Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women - CEDAW)  yang disahkan dan diterima oleh Dewan Umum PBB pada tahun 1979.[8] Selain itu, adanya resolusi yang dihasilkan dalam konferensi perempuan di Beijing pada 1995 juga telah mendorong pemerintah di berbagai negara termasuk Indonesia dan Australia untuk berkomitmen meningkatkan jumlah wakil perempuan dalam parlemen mereka setidaknya sampai 30 % (PBB 1995). 
Indonesia dan Australia merupakan negara yang bertetangga yang telah menjalin hubungan sejak lama. Kedua negara ini dalam perkembanganya juga cukup membuka ruang bagi partisipasi rakyatnya yang ingin menyampaikan pendapat mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan kebijakan yang dibuat di parlemennya.  Seperti yang diketahui, parlemen merupakan pusat segala kegiatan politik bagi Australia, di lembaga inilah semua keputusan yang menyentuh kehidupan masyarakat, pemerintahan, dan kenegaraan dibuat. Di lembaga-lembaga ini pulalah anggota-anggota terpilih dari partai-partai politik utama mendiskusikan dan sekaligus berdebat tentang semua aturan yang mengikat anggota masyarakat dan juga sedikit banyak tentunya akan menyumban kepada pembentukan  karakter masyarakat Australia.  Parlemen Australia terdiri atas dua majelis yaitu majelis rendah yang disebut dengan House of Representatives (Hor)  dan majelis tinggi yang disebut senate (senat). [9]  Tidak jauh berbeda dengan Australia, parlemen di Indonesia juga memiliki peranan yang sangat penting. Selain itu dalam perkembangannya peran parlemen menjadi semakin beragam seperti dari sisi edukatif dimana parlemen dianggap sebagai forum kerjasama antar berbagai golongan serta partai dengan pemerintah, dimana beraneka ragam pendapat dibicarakan didepan umum. Yang membedakan adalah parlemen di Indonesia memakai satu sistem majelis, yaitu Dewan Perwakilan rakyat (DPR). [10]

2.2 Perkembangan Partisipasi Politik Perempuan di Parlemen Indonesia
Partisipasi politik perempuan merupakan suatu hal yang penting demi tercapainya kesetaraan gender di bidang politik.  Dalam undang-undang Dasar Republik Indonesia sendiri tidak ada batasan mengenai partisipasi dan keterwakilan politik perempuan Dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, keterlibatan perempuan dalam kehidupan publik telah meningkat namun sayangnya partisipasi dan keterwakilan mereka di lembaga legislatif tingkat nasional maupun provinsi, dan di seluruh lembaga pemerintahan masih rendah. Sebagai contoh partisipasi perempuan dalam parlemen pada periode 1992–1997, proporsi perempuan di DPR adalah 12 persen. Sedangkan pada periode keanggotaan 1999-2004, dari seluruh anggota DPR yang berjumlah 500 orang, hanya 45 orang di antaranya atau 9,9 persen yang perempuan. (Tabel 3.4a). Namun hal yang cukup menggembirakan disini adalah  terdapatnya 82 persen anggota DPR perempuan yang lulus perguruan tinggi. Jumah ini lebih banyak dibandingkan anggota DPR laki laki dengan tingkat pendidikan yang sama, yaitu 75 persen.[11]
Sejak dulu sebenarnya partsipasi politik perempuan di Indonesia telah mengalami berbagai kemajuan dalam perkembangannya. Bahkan gerakan perempuan di Indonesia telah berhasil melakukan gebrakan yang cukup penting yaitu dengan berhasil mendorong diberikannya kuota 30% untuk mendorong jajaran birokrasi dan lembaga legislatif tingkat tinggi.[12]. Hal ini tentunya tidak mudah, dibutuhkan perjuangan yang berkelanjutan oleh berbagai organisasi perempuan pada saat itu.  Keberhasilan ini diantaranya merupakan hasil dari lobi kelompok-kelompok  kaukus bagi para politisi perempuan yang dibentuk pada tahun 2000.[13] Selain itu ada juga dukungan dari organisasi baru lainnya yang ikut bergabung seperti koalisi perempuan Indonesia dan Centre for Electoral Reform (CETRO) dalam hal untuk mendorong adopsi kuota kandidat perempuan ini.[14] Mereka mengadakan serangkaian seminar yang dipublikasikan dengan baik, mengeksploitasi kontak media mereka dan membentuk delegasi pada partai-parai politik dan komisi parlemen. Di dalam parlemen, sebuah kelompok ini kaukus meliputi 44 orang anggota parlemen perempuan yang menuntut agar 20 sampai 30% kursi parlemen diperuntukkan bagi perempuan.[15] Pada awalnya lobby bersama dari 38 komunitas  dan kelompok akademisi, federasi kowani dengan 7 organisasi perempuan yang menjadi anggotanya serta para politisi lainnya yang berusaha untuk mendapatkan kuota 30 % dicantumkan dalam UU partai politik (disahkan pada November 2002), tetapi sayangnya usaha ini gagal dilaksanakan.[16] Hingga akhirnya koalisi itu kemudian mengusahakan lobby lebih jauh hingga akhirnya berhasil memasukkan ide kuota dalam UU Pemilihan umum No 12 yang disahkan pada Februari 2003. Klausulnya dengan kuat merekomendasikan pada partai-partai politik agar mereka memasukkan setidaknya 30% perempuan dalam daftar kandidat mereka untuk pemilu legislatif pada tingkat nasional, provinsi dan distrik.[17]
Hal yang mengecewakan disini adalah fakta bahwa setelah UU Pemilihan umum No 12 tahun 2003 tersebut dikeluarkan pun, ternyata pada Pemilu 2004 partai-partai politik tidak memenuhi rekomendasi 30% untuk kandidat perempuan. Bahkan tidak ada satupun partai yang melakukannya di semua distrik pemilihan. Kegagalan ini setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor seperti kurang suksesnya perekrutan perempuan, serta banyaknya kandidat yang didiskualifikasi oleh Komisi Pemilihan umum (KPU) karena mereka gagal memenuhi persyaratan seperti menyediakan dokumentasi yang mencukupi. Selain itu, tidak adanya sanksi yang tegas bagi partai yang melanggar ketentuan ini juga menjadi salah satu sebab minimnya keterwakilan perempuan di parlemen. Hasil pemilu tahun 2004 baru mampu mengakomodasi kursi perempuan sebanyak 10, 7 % atau hanya 28 orang dari 550 anggota parlemen yang menjadi wakil rakyat untuk periode 2004-2009. [18] Angka ini jelas belum bisa mewakili power perempuan agar dapat bergerak lebih leluasa sehingga mampu memperjuangkan aspirasi kaum perempuan secara keseluruhan.[19]

B. Partisipasi Politik Perempuan Indonesia di Parlemen pada tahun 2009
Pada perkembangan selanjutnya, enam tahun sejak dikeluarkannya UU Pemilihan umum No 12 tahun 2003 ternyata memberikan peningkatan pada tingkat partisipasi perempuan di parlemen pada pemilu tahun 2009. Pada pemilu tersebut, jumlah perempuan yang menempati kursi diparlemen nasional adalah 101 orang dari 560 kursi yang tersedia.[20] Terjadi peningkatan keterwakilan perempuan di DPR RI dibandingkan dengan pemilu 2004,yaitu dari 11,8 persen menjadi 18 persen pada pemilu 2009. Selain itu terjadi juga peningkatan dalam hal keterwakilan perempuan di DPD RI dari 22,6 persen pada 2004 menjadi 26,5 persen pada pemilu 2009. Hal ini sepertinya juga  tidak dapat dilepaskan dari keputusan pemerintah yang mengeluarkan kebijakan terbaru tentang pemilu yang memperkuat keterlibatan perempuan dalam politik formal yaitu melalui UU Pemilu Nomor 10/2008. Pada Pasal 8 ayat (1) butir (d) menyatakan bahwa partai politik dapat menjadi peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat. Legalitas keterlibatan perempuan dalam Pemilu dengan kuota 30% dianggap suatu kemenangan bagi para pengusung gender yang menyerukan Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG). Lebih jauh, Pasal 66 ayat 2 UU Nomor 10/2008 juga menyebutkan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota juga mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap parpol pada media cetak harian dan media elektronik nasional. Sementara di Pasal 2 ayat 3 UU Parpol disebutkan bahwa pendirian dan pembentukan parpol menyertakan 30% keterwakilan perempuan. [21] Selain itu juga terdapat UU Partai Politik No. 2/2008 Pasal 2 ayat 5 mengatur bahwa partai politik harus memberikan 30 persen kuotanya untuk perempuan di dewan pimpinan pusat mereka.[22]
Tetapi sayangnya, undang-undang pemilu 2008 ini masih memiliki kekurangan di tingkat substansi, yaitu UU ini tidak menyebutkan adanya sangsi bagi partai politik yang tidak mematuhinya. Kekurangan inilah yang kemudian menyebabkan enam dari tigapuluh delapan partai yang ikut serta dalam pemilu 2009 gagal menominasikan 30 persen calon legislatif perempuan dalam daftar calon anggota legislatif yang mereka usulkan.[23] Walaupun begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa peningkatan keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terjadi pada pemilu 2009 lalu yang mencapai 18 persen merupakan angka tertinggi keterwakilan perempuan di sejarah politik Indonesia.
Gambar 2.1[24]
Dari grafik diatas dapat kita lihat dari tahun ke tahunnya telah terjadi peningkatan persentase wanita yang terlibat di parlemen Indonesia. Selain itu, terdapat juga variasi persentase perwakilan perempuan di DPR RI dari berbagai partai politik. Perwakilan perempuan terendah di DPR RI adalah Partai Keadilan Sejahtera yang jumlahnya 5,3 persen, sementara Partai Demokrat memiliki keterwakilan tertinggi sebesar 24,3 persen.[25]



Gambar 2.2[26]
C. Perkembangan Partisipasi Politik Perempuan di Parlemen Australia
Tidak jauh berbeda dengan Indonesia, perkembangan partisipasi politik perempuan di Australia pun mengalami pasang surut yang cukup signifikan. Diawali dengan suatu kemajuan yang sangat baik dengan menjadi negara pertama yang memberikan kesempatan bagi perempuan tidak hanya untuk memilih tetapi juga dipilih pada tahun 1902, kemudian dilanjutkan dengan perkembangan yang lambat hingga satu abad kemudian tanpa perkembangan yang berarti, dan sampai pada tahap kontemporer dewasa ini dimana Australia sudah semakin matang dalam meningkatkan partisipasi politik perempuannya.
Setelah kemajuan yang sangat baik pada tahun 1902 tersebut, perkembangan partisipasi politik tidak terjadi lagi perkembangan lanjutan bagi perempuan Australia selama berpuluh tahun. Pada tingkat nasional, beberapa perempuan mengajukan diri sebagai kandidat tetapi baru pada tahun 1943 terpilihlah seorang perempuan pertama di parlemen pusat.[27] Terdapat jeda waktu empat puluh satu tahun antara  saat pertama kali diberikannya hak pilih hingga terpilihnya perempuan ke dalam parlemen. Sedangkan pada tingkat negara bagian, perkembangannya pun hampir sama lambatnya, hanya sembilan perempuan yang terpilih.[28]
Sejak awal tahun 1970 an, sebenarnya para perempuan Australia sudah berusaha untuk meningkatkan partisipasi politikya di parlemen, namun representasi ini masih kecil dan tidak proporsional dibandingkan dengan representasi perempuan dalam populasi. [29] Hal ini juga salah salah satunya disebabkan oleh sistem pemilu  Australia yang menganut sistem single majority atau Single Member District (SMD) sebagai  bagian dari warisan kolonial Inggris yang menghalangi peran perempuan untuk melangkah maju atau terpih sebagai kandidat. Hal ini disebabkan karena sistem pemilu ini hanya mengizinkan satu anggota parlemen untuk mewakili satu daerah pemilihan.[30] Sistem ini berlaku bagi pemilihan anggota majelis rendah federal (House of representatives) dan sebagian besar parlemen negara bagian. Sedangkan untuk pemilihan senator di tingkat federal, diberlakukan sistem pemilu proportional representation atau perwakilan berimbang yang memungkinkan setiap daerah pemilihan memiliki lebih dari satu anggota parlemen atau yang dikenal dengan sistem multi-member constituency.[31]
Kemudian setelah perkembangan yang terjadi pada tahun 1970 an, mulai terjadi peningkatan dalam jumlah anggota parlemen perempuan, pemilihan seorang pemimpin perempuan pada sebuah partai politik kecil (partai demokrat) serta terpilihnya dua perempuan sebagai perdana menteri negara bagian. Walaupun  begitu hingga tahun 1996, lebih dari 90% anggota wakil rakyat di House of Representatives  atau majelis rendah masih terdiri dari laki-laki dan tidak pernah ada lebih dari dua orang perempuan menteri dalam setiap kabinet.[32]
Dengan kondisi seperti itu, Australia tentunya membutuhkan  strategi untuk dapat meningkatkan partisipasi politik perempuan, dan salah satu cara yang pada saat itu sudah mulai marak digunakan oleh negara-negara lainnya adalah pemberian kuota tertentu bagi perempuan untuk dapat menempati posisi di parlemen. Tetapi sayangnya hal ini tidak semudah itu untuk diterapkan. Hal ini setidaknya disebabkan oleh kurangnya dukungan partai politik Australia untuk menerapakan pemberian kuota pada perempuan ini. Satu-satunya partai di Australia yang telah memperkenalkan kuota untuk meningkatkan partisipasi perempuan adalah Australian Labour Party (ALP) atau biasa disebut Partai Buruh Australia .  Secara resmi kuota ini diperkenalkan pada tahun 1994, dimana 35% wanita  harus terpilih untuk kursi yang dapat dimenangkan pada tahun 2002, dan akan meningkat menjadi 40% pada tahun 2012.[33] Oleh karena itulah , tidak heran bila hingga saat ini partai  Buruh memiliki tingkat keterwakilan perempuan  tertinggi dengan rata-rata 37%, dibandingkan dengan Partai Liberal dengan 22,1% dan Nationals dengan 15,4%.[34]
Sedangkan partai-partai lainnya seperti Partai liberal dan partai nasional sejak dulu memang telah menolak untuk memberikan penetapan kuota bagi perempuan walaupun mereka juga tetap mendukung adanya peningkatan keterwakilan perempuan pada parlemen. Dalam rangka membantu keterwakilan perempuan, partai-partai ini lebih fokus pada hal lainnya selain pemberian kuota, seperti mentoring, networking program, dan seminar keterampilan.[35] Walaupun memang ternyata strategi ini dirasa kurang berhasil dalam mengatasi hambatan struktural yang ada, hal ini terlihat  dari masih kurangnya jumlah anggota perempuan dalam partai-partai itu sendiri maupun dalam keterwakilan anggota perempuannya di parlemen bila dibandingkan dengan partai buruh.
D. Partisipasi Politik Perempuan di Parlemen Australia pada pemilu tahun  2010
Sebagai negara yang demokratis, sudah seharusnya Australia memberikan perhatiannya dalam tingkat partisipasi politik perempuan demi mencapai kesetaraan gender. Setelah meratifikasi CEDAW atau Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Australia kemudian juga telah membuat  Undang   -Undang Diskriminasi Seks 1984 sebagai salah satu cara untuk menghilangkan diskriminasi pada perempuan, tetapi sayangnya UU ini tidak secara langsung mencakup mengenai urusan partai politik[36] kecuali karyawan yang  terlibat serta tidak berlaku juga untuk proses pra-seleksi yang dilakukan oleh partai politi, sehingga tidak terlalu memberikan dampak pada partisipasi perempuan di partai politik itu sendiri.[37]
Hal yang menarik disini adalah fakta dimana walaupun Australia tidak membuat peraturan secara nasional mengenai rekomendasi pemberian kuota bagi  partai politik yang ingin mengikuti pemilu seperti hal nya yang dilakukan Indonesia, tetapi ternyata jumlah keterwakilan perempuan di Australia juga terus meningkat. Bahkan berdasarkan survey yang dilakukan oleh Inter Parliamentary Union pada 2010 lalu, dari 188 negara Australia mendapatkan peringkat ke 29 untuk jumlah keterwakilan wanita di HoR dengan persentase 24, 7 persen dan 35,5 persen kursi untuk senat. Sedangkan Indonesia tertinggal jauh dibawah Australia pada peringkat ke 65 dengan tingkat 18 persen wanita pada parlemen nasionalnya (DPR) .[38]
 Pada pemilu yang dilakukan pada 2010 lalu, tercatat jumlah wanita di HoR adalah 37 orang dari total 150 anggota Hor atau setara dengan 24, 7 persen.  Sedangkan di senat, jumlah perempuan 27 orang dari 76 kursi yang ada atau sekitar  35,5 persen kursi.[39] Angka ini tentu saja mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Dibawah ini adalah tabel yang menggambarkan jumlah perempuan di parlemen dari tahun ke tahun.[40]
Gambar 2.3
 
National Parliament
State/Provincial Parliaments
Local Government
Upper House
Lower House
Upper House
Lower House
Representatives
Year
Female
Male
Female
Male
Female
Male
Female
Male
Female
Male
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
1960
5
55
0
124
2
161
1
361
100
n.a.
1970
3
57
0
125
8
157
4
374
250
n.a.
1980
6
58
3
122
20
159
16
402
798
n.a.
1990
18
58
10
138
29
116
45
422
n.a.
n.a.
2000
22 (28.9%)
54
34 (23%)
114
37 (23.6%)
120
94 (21.4%)
345
1,745 (26.3%)
4,992

Dari table di atas terlihat peningkatan jumlah perempuan di parlemen dari tahun ke tahun. Dibandingkan dengan pemilu 10 tahun yang sebelumnya yaitu pada tahun 2000, dapat kita lihat bahwa  peningkatan jumlah anggota perempuan di House of Representative cukup tinggi, yaitu dari 23 persen menjadi 24,7 persen. Sedangkan untuk senat atau majelis tinggi mengalami kenaikan dari 28,9 persen menjadi 35, 5 persen.
Untuk variasi persentase perwakilan perempuan di parlemen sendiri pada pemilu tahun 2010 yang lalu, partai yang memiliki wakil perempuan terbanyak di parlemen masih dipegang oleh Australian Labour Party atau partai buruh yang notabenenya memang telah menerapkan sistem kuota 35 persen untuk perempuan dalam partai politiknya, yaitu dengan  38,2 persen pada House of Representatives dan 39, persen pada senat. Sedangkan partai yang perwakilan perempuannya paling sedikit di House of Representative adalah partai NATS atau The Nationals (sebelumnya National Party of Australia) dengan  persentase hanya 7 persen. Sedangkan untuk senat berhubung jumlah total anggotanya pun tidak sebanyak House of Representatives,  maka rata-rata partai-partai besar telah memiliki wakil yang cukup banyak di senat, sebagai contoh partai buruh dengan 39,8 persen dan partai liberal dengan 29,3 persen. Sedangkan kebanyakan partai-partai kecil yang memang hanya memiliki sedikit perwakilan  di senat ternyata tidak memiiki keterwakila perempuan disana. Contohnya adalah Family First Party dan CDP (Christian Democratic Party), dimana dari semua wakilnya di senat yang masing-masing hanya berjumlah orang semuanya ditempati oleh laki-laki.[41]










BAB 3
                                                                     ANALISIS
3.1 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Perbedaan Tingkat Partisipasi Politik Perempuan di  Indonesia dan Australia
Seperti yang telah diuraikan di pembahasan, terlihat bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan pada partisipasi politik perempuan di parlemen antara Indonesia dan Australia yang dibuktikan melalui pemilu terakhir yang dilakukan kedua negara yaitu pemilu tahun 2009 di Indonesia dan pemilu tahun 2010 di Australia. Hal yang menarik disini adalah fakta bahwa ternyata Australia tetap dapat meningkatkan partisipasi politik perempuannya di parlemen dan bahkan memperoleh peringkat yang lebih tinggi dari Indonesia walaupun ia tidak menetapkan rekomendasi pemberian kuota gender secara nasional bagi partai politik yang ingin mengikuti pemilu. Padahal selama ini pemberian kuota dianggap sebagai hal yang penting dan efektif dalam meningkatkan partisipasi politik perempuan di Parlemen seperti hal nya yang terjadi di Rwanda.[42] Dengan menggunakan pendekatan struktural fungsionalis, bisa dilihat bahwa walaupun secara struktural Indonesia telah membuat bukti yang nyata  dengan melakukan Affirmative action atau yang sering didefinisikan sebagai langkah strategis untuk mengupayakan kemajuan dalam hal kesetaraan dan kesempatan yang lebih bersifat substantif melalui kuota 30% yang tertuang dalam UU pemilu No 12 tahun 2003, serta diperkuat lagi dengan dikeluarkannya UU pemilu No. 10/2008 dan UU No 2 tahun 2008, tetapi ternyata secara fungsionalis struktur yang ada ini belum terimplementasikan dengan efektif. Walaupun memang UU ini berhasil meningkatkan partisipasi politik perempuan di parlemen pada tahun 2009 dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, tetapi ternyata masih ada kekurangan dalam pencapaian tujuan UU ini, yaitu masih adanya beberapa partai politik yang tidak bisa memenuhi kuota 30 persen pada  partainya. Hal ini diakibatkan karena tidak adanya sanksi yang tegas bagi partai yang melanggar ketentuan ini, sehingga peraturan yang telah dibuat ini terkesan kurang efektif. Selain itu, minimnya keterwakilan perempuan dalam kepengurusan parpol itu sendiri juga berpengaruh pada kebijakan yang diambil Parpol khususnya dalam mengimplementasikan UU pemilu yang mensyaratkan kuota 30% bagi perempuan tersebut. Untuk itu perlu ada upaya untuk mendorong adanya ketentuan UU atau kebijakan lain yang juga mengatur implementasi kuota 30% dalam badan kepengurusan Parpol. Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan pada tahun 2004, bahwa 90% pengurus Parpol ternyata tidak sepenuhnya memahami visi misi Parpol.[43] Ini artinya proses pendidikan politik dan mekanisme pengkaderan dalam tubuh Parpol memang masih lemah.  Sebagai contoh yaitu seperti yang terjadi pada UU Partai Politik No. 2/2008 Pasal 2 ayat 5 yang mengatur bahwa partai politik harus memberikan 30 persen kuotanya untuk perempuan di dewan pimpinan pusat mereka. Data yang dihimpun dari tiga partai politik besar menunjukkan bahwa tidak satu pun dari mereka yang memiliki 30 persen anggota perempuan yang duduk di dewan pimpinan pusat. Terlebih lagi, tidak ada informasi mengenai posisi apa yang dipegang oleh para perempuan di dewan pimpinan pusat partai-partai tersebut. Bahkan, sebagian besar partai politik bahkan tidak memiliki catatan tentang data keanggotaan mereka.[44]  Dari uraian di atas lagi-lagi dapat kita simpulkannya bahwasanya parta politik pun sebagai struktur dalam sistem politik di Indonesia ternyata belum dapat menjalankan fungsinya dengan baik dalam hal peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen, jadi wajar saja apabila hasil yang diharapkan dari UU tentang kuota tersebut belum dapat maksimal. Selain itu, faktor-faktor lainnya yang menyebabkan tingkat partisipasi politik perempuan di parlemen Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia adalah sebagai berikut :
            a. Tingkat kualitas pendidikan
            Tingkat kualitas pendidikan yang berbeda antara Australia dan Indonesia diyakini telah menjadi salah satu faktor penyebab perbedaan tingkat partisipasi politik perempuan di parlemen pada kedua negara. Pendidikan di Australia telah sampai pada perkembangan dimana lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki yang dididik di sekolah menengah dan universitas, dan jumlah wanita yang lulus dari universitas dengan gelar sarjana pun lebih banyak dari laki-laki . Pada tahun 2006, perempuan menyumbang 54,8 persen dari semua siswa pendidikan tinggi dan 47,5 persen dari semua siswa yang terdaftar dalam pendidikan kejuruan dan pelatihan. [45] Sedangkan untuk data di perguruan tinggi, pada bulan Mei 2008 lalu, tercatat 7.470.000 warga Australia yang masuk ke perguruan tinggi dimana 3.650.000. diantaranya adalah wanita[46]. Persentase wanita Australia yang duduk perguruan tinggi  ini telah mengalami peningkatan dari yang awalnya hanya 50,6 persen saja pada tahun  2007.[47] Dibawah ini adalah grafik yang menggambarkan tingkat perbandingan wanita dan perempuan di perguruan tinggi.
Gambar  3.1[48]                                               Figure 2.3: Population aged 15-64 years by level of highest non-school qualification and gender, 2007
 Dari gambar 3.1 dapat kita lihat bahwa yang berdasarkan survey dilakukan pada 2009 lalu sarjana merupakan gelar pendidikan perempuan yang paling tinggi dicapai dalam jenjang perguruan tinggi.
Selanjutnya pada Gambar 3.2 menunjukkan perbedaan gender yang  jelas dalam bidang atau jurusan di perguruan tinggi. Disini terlihat jurusan manajemen, sosial dan budaya, pendidikan dan kesehatan, merupakan jurusan utama yang menjadi pilihan perempuan Sedangkan laki-laki lebih banyak memilih pada bidang-bidang teknologi. Tingginya perempuan yang mengambil jurusan sosial juga diperkirakan dapat menjadi salah satu pendorong bagi mereka untuk juga terlibat dalam bidang politik.





Gambar 3.2
Figure 2.4: Population aged 15-64 years by main field of highest non-school qualification and gender, 2007
Selain itu, pemerintah Australia juga aktif dalam memberikan kemudahan-kemudahan dalam mengakses pendidikan disana, seperti biaya pendidikan dan sebagainya, yang mengantarkan Australia pada peringkat ke 12 negara dengan sistem pendidikan tinggi yang paling terjangkau berdasarkan Global Higher Education Report pada tahun 2005. Australia bahkan berada satu tingkat di atas Amerika Serikat.[49] Kemudahan-kemudahan ini tentu saja akan membantu memudahkan akses bagi perempuan untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik.Tingginya tingkat pendidikan pada perempuan di Australia ini yang menurut penulis menjadi faktor penting yang membedakan antara Indonesia dan Australia. Dengan kualitas pendidikan yang baik pada perempuan di Australia tersebut tentunya akan membuat mereka lebih berkualifikasi untuk mencalonkan diri sebagai anggota parlemen. Selain itu dengan pendidikan juga dapat membuka pikiran para perempuan di Australia sehingga mereka semakin tertarik untuk terjun ke dunia politik.
            Sedangkan di Indonesia, Pemerintah Indonesia sebenarnya telah sejak kemerdekaannya pada tahun 1945 terus mengembangkan sistem pendidikannya, dan wajib belajar 9 tahun[50] telah dicanangkan sebagai kebijakan nasional pada tahun 1994. Walaupun dalam perkembangannya Indonesia telah mencapai kemajuan dalam meningkatkan kesetaraan dan keadilan pendidikan  bagi penduduk laki-laki dan perempuan yang dibuktikan antara lain dengan semakin membaiknya rasio partisipasi pendidikan dan tingkat  melek huruf penduduk perempuan terhadap penduduk laki-laki, partisipasi perempuan di bidang politik dan legislatif[51] tetapi tetap tingkat pendidikan ini masih kalah bila dibandingkan dengan Australia. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh UNICEF, diketahui bahwa hampir semua anak, baik laki-laki maupun perempuan, masuk sekolah dasar (SD), dan Angka Partisipasi Murni (APM)[52] mencapai 93 persen pada tahun 2002, dan belum terlihat jelas adanya kesenjangan jender. Kemudian Data Departemen Pendidikan memperlihatkan adanya kesenjangan jender yang signifikan antara jumlah anak laki-laki dan anak perempuan yang putus sekolah di tingkat SD maupun SLTP.[53] Kemungkinan anak perempuan untuk putus sekolah lebih besar dibandingkan anak laki-laki. Di SD, dari 10 anak yang putus sekolah, 6 di antaranya anak perempuan dan 4 lainnya anak laki-laki. Demikian halnya di SLTP. Kesenjangan jender antara murid laki-laki dan perempuan yang putus sekolah sedikit lebih tinggi di sekolah lanjutan atas, yaitu 7 anak perempuan dibandingkan 3 anak laki-laki (Departemen Pendidikan Nasional, 2002).
 Penyebabnya bukan semata-mata ketidakmampuan menjangkau biaya pendidikan saja, melainkan juga karena kurangnya akses serta pengaruh lingkungan keluarga. Sebagian masyarakat Indonesia, masih ada yang beranggapan perempuan sebaiknya fokus mengurus keluarga. Perempuan tidak perlu mengemban pendidikan tinggi, cukup di tingkat SD dan SMP. Hal-hal seperti inilah yang kemudian menyebabkan perempuan Indonesia kurang bisa bersaing untuk terpilih di parlemen. Bahkan untuk mencalonkan diri saja mereka akan terbentur berbagai macam syarat kualifikasi pendidikan yang mungkin tidak dapat mereka penuhi. Hal ini ditunujukkan dengan banyaknya calon kandidat perempuan yang didiskualifikasi oleh KPU pada pemilu 2009 lalu karena disebabkan mereka gagal memenuhi persyaratan seperti menyediakan dokumentasi yang mencukupi.[54] Kedepannya, pemerintah perlu melakukan perbaikan yang lebih baik lagi di bidang pendidikan ini khususnya bagi perempuan, mengingat pendidikan merupakan aspek yang sangat penting guna membentuk pola pikir masyarakat mengenai politik  itu sendiri serta terbentuknya sumber daya manusia yang berkualitas.
b. Budaya politik di Indonesia
Indonesia merupakan negara dengan budaya patriarki yang terkadang menganggap perempuan sebagai “warga negara no 2 di bawah kaum laki-laki” serta masih sering diposisikan sebagai pihak yang harus bersikap “menerima” tanpa perlawanan (reserve). . Selain itu adanya sudut pandang secara budaya yan menganggap laki-laki lebih superior dibandingkan wanita, menganggap wanita lebih lemah dan lebih cocok mengerjakan hal-hal seperti mengurus rumah  dan sebagainya pada akhirnya telah menyulitkan wanita untuk mendapatkan kedudukan yang sejajar dengan pria di berbagai sendi kehidupan termasuk politik. Budaya-budaya dalam masyarakat inilah yang kemudian tertanam di masyarakat dan menjadi suatu nilai bersama yang pada akhirnya dapat mempengaruhi budaya politik di Indonesia. Dengan budaya politik seperti itu pada akhirnya menyebabkan perempuan Indonesia semakin enggan untuk bergabung dan berurusan dengan politik, apalagi untuk mencalonkan diri sebagai anggota parlemen.
Dengan adanya pandangan mayoritas masyarakat Indonesia yang  cenderung melihat serta memperlakukan kaum perempuan hanya sebagai pelengkap kaum laki-laki bahkan dalam tingkat tertentu hanya dilihat sebagai objek semata tentunya telah menjadi hambatan bagi berkembangnya partisipasi politik perempuan. Misalnya dalam perekrutan pengurus partai politik atau calon legislative, rata-rata yang dipilih dan memilih adalah laki-laki, karena merekalah yang selama ini bisa melakukan upaya-upaya pemberdayaan politik. Padahal mereka-mereka perempuan yang di daerah inilah yang menjadi tulang punggung proses pemberdayaan perempuan. Oleh sebab itu, sudah menjadi kewajiban bersama untuk meluruskan cara pandang budaya yang kurang tepat dalam memahami dan memandang kaum perempuan sehingga kaum perempuan dapat memainkan peran dan fungsinya lebih maksimal lagi.
 Sedangkan di Australia budaya-budaya seperti ini tentunya juga ada walaupun memang tidak sekental di Indonesia. Seperti yang diketahui, kebanyakan Australia adalah pendatang, dimana warga negara Australia pun sudah sering berintekasi dengan berbagai pendatang dari belahan dunia lainnya, yang pada akhirnya disadari atau tidak telah membuat mereka lebih terbiasa dalam menerima adanya multikulturalisme maupun perbedaan-perbedaan yang ada seperti ini termasuk masalah gender ini. Bahkan pada tahun 2010 lalu Australia telah memiliki perdana menteri perempuan pertamanya yaitu Julia Gillard. Selain itu dengan tingkat pendidikan yang semakin modern dan merata, maka telah memberikan pemahaman yang lebih baik bagi rakyat Ausralia akan pentingnya kesetaraan gender dalam parlemen agar kepentingan rakyat dari berbagai lapisan dapat terpenuhi. Pendidikan yang baik ini juga dapat membuat mereka lebih bisa menerima perbedaan yang ada dan dapat menerima adanya keterwakilan perempuan yang lebih banyak lagi di parlemennya selama memang perempuan itu berkualitas dan pantas untuk menjadi anggota parlemen. Oleh karena kesadaran yang telah muncul pada rakyat Australia itulah yang kemudian menyebabkan tingkat keterwakilan perempuan di parlemen Australia dapat lebih tinggi daripada di Indonesia tanpa harus membuat suatu peraturan nasional yang merekomendasikan kuota bagi perempuan. Seperti yang diketahui di Australia hanya partai buruh saja lah yang memberlakukan sistem pemberian kuota bagi perempuan di partainya, tetapi walaupun begitu partai-partai lainnya pun tanpa harus memberikan sistem kuota tetap mendukung keterwakilan politik perempuan di parlemen dengan cara lainnya seperti melakukan mentoring networking program, dan seminar keterampilan pada wanita. Walaupun memang jumlah perwakilan wanitanya tidak sebanyak partai buruh, tetapi tetap saja perwakilan perempuan dari partai mereka serta usaha lainnya yang dilakukannya tersebut tetap menyumbang andil dalam meingkatkan partisipasi politik perempuan Australia di parlemen.



















BAB 4
   KESIMPULAN
            Partipasi politik perempuan di parlemen merupakan suatu hal yang sangat penting mengingat parlemen dalam suatu negara merupakan pusat kegiatan politik yang menentukan kebijakan serta membuat undang-undang yang dapat mempengaruhi hidup rakyat banyak. Peningkatan partisipasi perempuan di parlemen ini diperlukan agar kedepannya dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas kebijakan publik yang responsif terhadap gender yang menyangkut baik laki-laki maupun perempuan.
Selain itu, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan mengapa tingkat partisipasi politik perempuan di parlemen antara Indonesia pada tahun 2009 lebih rendah daripada  di Australia pada 2010, padahal Australia sendiri bahkan tidak menerapkan sistem kuota bagi perempuan dalam partai politik seperti yang terjadi di Indonesia. Faktor-faktor tersebut yang pertama adalah karena ternyata undang-undang  tentang pemberian kuota tersebut secara fungsionalis berjalan dengan maksimal. Hal ini terlihat dari masih banyaknya partai-partai yang belum bisa memenuhi syarat 30 persen pada calon kandidatnya bahkan setelah uu itu dijalankan. UU tentang pemberian kuota ternyata kurang mengatur mengenai sangsi yang tegas bagi partai politik yang terbukti melanggar isi UU tersebut. Selain itu dari sisi partai politik sendiri juga kurang memberikan dukungan dalam menerapkan pemberlakuan sistem kuota ini.
Faktor lainnya dalah tingkat kualitas pendidikan di Indonesia yang lebih rendah kualitasnya  daripada Australia serta adanya budaya politik di Indonesia yang berawal dari budaya masyarakat yang menganggap perempuan sebagai orang nomor dua setelah laki-laki dan tidak pantas untuk berurusan dengan bidang politik. Wanita dianggap lebih pantas untuk mengurusi hal-hal lainnya seperti mengurus rumah tangga dan lingkungan. Hal inilah yang kemudian juga turut mempengaruhi kebanyakan pola pikir perempuan Indonesia sehingga semakin menyebabkan mereka enggan untuk terjun ke dunia politik. Sedangkan di Australia dengan adanya tingkat kualitas pendidikan yang baik bagi perempuan disana telah memudahkan mereka untuk dapat mencalonkan diri dan terpilih menjadi anggota parlemen.
Selain itu tingkat kualitas pendidikan yang baik juga dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat Australia mengenai pentingnya kesetaraan partisipasi antara perempuan dan laki-laki dalam parlemen. Sehingga walaupun secara struktural di Australia belum ada undang-undang secara nasional yang mengatur mengenai pemberian kuota, tetapi dengan pendidikan yang baik telah memberikan budaya politik yang baik pula bagi mereka, dimana stereotip tradisional yang melekat di masyarakat bahwa perempuan lebih rendah daripada laki-laki dan tidak pantas nya perempuan mengurusi politik telah mulai memudar. Kesadaran yang telah muncul pada rakyat Australia itulah yang kemudian menyebabkan tingkat keterwakilan perempuan di parlemen Australia dapat lebih tinggi daripada di Indonesia walaupun notabenenya disana hanya partai buruh saja yang menerapkan sistem kuota.
Kedepannya diharapkan pemerintah dapat lebih aktif lagi dalam meningkatkan pendidikan khususnya bagi perempuan serta memberikan sosialisasi dan pemahaman yang lebih baik mengenai pentingnya kesetaraan gender salah satunya dalam hal partisipasi politik perempuan di parlemen. Selain itu dibutuhkan juga upaya untuk mendorong adanya ketentuan UU atau kebijakan lain yang juga mengatur implementasi kuota 30% dalam badan kepengurusan Parpol. Sehingga fungsi yang berjalan pada struktur parpol maupun UU pemberian kuota pada perempuan  itu dapat berjalan dengan maksimal. Dengan itu, diharapkan kedepannya akan dapat terbentuk   critical mass perempuan atau basis kekuatan massa  perempuan yang cukup banyak di parlemen sehingga dapat  menghancurkan diskriminasi gender dan pada jumlah yang substansial dapat menembus benteng utama dalam pembuatan kebijakan sehingga perempuan lebih dapat memperjuangkan kepentingannya sendiri.














DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku

Australian Bureau of Statistics, Education and Work, May 2008, Catalogue No. 6227.0, ABS, Canberra, 2008, Table 8. The reference population is those aged 15-64 years

Australian Bureau of Statistics, Education and Work, May 2007, Catalogue No. 6227.0, ABS, Canberra, 2008, Table 8.

Drabsch, T, ‘Women in Parliament: The current Situation,’ New South Wales Parliamentary Library Research Service, Briefing Paper No 9/03 (2003) at p15

G.A. Almond. ‘Studi Perbandingan Sistem Politik’,  dalam Mohtar Masoed dan Colon MacAndrews(eds),Perbandingan Sistem Politik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2006,p.32
Inter-Parliamentary Union, Women in Parliament in 2007: The Year in Perspective, SADAG Publishing, France,
2008 at 1.
Jakarta Post,”Women’s Caucus blasted for self-interests”, The Jakarta Post. 5 November 2001.

Kurniawan,M.N., “No party reaches 30 percent of women running”. The Jakarta Post. 29 Januari 2004.

M. Budiardjo,. Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama,Jakarta, 2003,p. 316.

Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan,(online),www.bappenas.go.id diakses tanggal 4 Januari 2011.

Orr, G, (2000) ‘The Law Comes to the Party; the Continuing Juridification of Political Parties in
Australia,’ 3 Constitutional Law and Policy Review 41 at p45

Parawansa,K.I.,”Institution Building:An Effort to improve Indonesia Women’s Role and Status”. Women in Indonesia: Gender, Equity and Development. K. Robinson and S. Bessel. Singapore, Singapore. Institute of Southeast  Asian Studies,2002.

Scott v Gray [1999] HREOCA 15; Orr, G, (2000) ‘The Law Comes to the Party; the Continuing
Juridification of Political Parties in Australia,’ 3 Constitutional Law and Policy Review 41 at p45

Whip, R and Fletcher, D.1999. Changing Characteristics of Women on Local Government
Councils in Australia: 1982-1993.

Z.Hamid, Sistem Politik Australia, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999,p.50.


Sumber Online
Australian Electoral Commision, Women in Political Arena,(online), 28 Januari 2011, <http://www.aec.gov.au/Elections/australian_electoral_history/wopa.htm>, diakses tanggal 4 Januari 2012.

Australian Government, Departement of Families, Housing, Community service and indigenous affair, Women in Australia 2009 ,(online),2009


C. Bylesjo & J. Ballington, International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance) , Memperkuat Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia, <http://www.komunitasdemokrasi.or.id/article/Memperkuat.pdf> diakses tanggal 4 Januari 2012.

Composition of Australian Parliaments by Party and Gender, 13 October 2011, <http://www.aph.gov.au/library/intguide/pol/currentwomen.pdf> diakses tanggal 2 Januari 2012.

Department of foreign affairs and trade,  Women towards equality, (online), 2010, <http://www.dfat.gov.au/facts/women.html>, diakses tanggal 5 Januari 2012

Educational Policy Institute, Global Higher Education Educational Policy Institute, Ranking, 2005, <http://www.educationalpolicy.org/pdf/global2005.pdf> diakses tanggal 5 Januari 2012.

Inter-Parliamentary Union, ‘Women in National Parliaments,’ (2011) < http://www.ipu.org/wmn-e/classif.htm> diakses tanggal 4 Januari 2012.


Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan,(online),www.bappenas.go.id diakses tanggal 4 Januari 2012.
                             

 United Nation  Development Program, Partisipasi Perempuan dalamPolitik dan Pemerintah,(online), 2010, < http://www.undp.or.id/pubs/docs/Women's%20Participation%20in%20Politics%20and%20Government%20-%20Bahasa.pdf> diakses tanggal 5 Januari 2012.

 

Wilson, J, ‘Composition of Australian Parliaments by Party and Gender,’ (2009) <www.aph.gov.au>
Diakses tanggal 4 Januari 2012.

Woman Research Institute, Delphi Panel :  Perempuan dan Politik dalam Era Otonomi Daerah di Indonesia ( Kuota dan

Desentralisasi)  (online), 2008,    







[1] M. Budiardjo,. Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama,Jakarta, 2003,p. 316.
[2] Inter-Parliamentary Union, Women in Parliament in 2007: The Year in Perspective, SADAG Publishing, France,
2008 p. 1.
[3] As of 2010 there will be 101.7 males per 100 females: United Nations Department of Economic and Social
Affairs, Population Division, World Population Prospects: The 2008 Revision Population Database, United
Nations <http://www.esa.un.org/unpp/p20kdata.asp>, diakses tanggal 4 Januari 2012.
[4] United Nation  Development Program, Partisipasi Perempuan dalamPolitik dan Pemerintah,(online), 2010, < http://www.undp.or.id/pubs/docs/Women's%20Participation%20in%20Politics%20and%20Government%20-%20Bahasa.pdf> diakses tanggal 5 Januari 2012.

[5] Woman Research Institute, Delphi Panel :  Perempuan dan Politik dalam Era Otonomi Daerah di Indonesia ( Kuota dan

Desentralisasi)  (online), 2008,    

<http://wri.or.id/id/penelitian/Penelitian%20Politik%20dan%20Perempuan?q=id/penelitian%20politik%20dan%20perempuan/Delphi%20Panel:%20Perempuan%20dan%20Politik%20dalam%20Era%20Otonomi%20Daerah%20di%20Indonesia> diakses tanggal 4 Januari 2012.

[6] G.A. Almond. ‘Studi Perbandingan Sistem Politik’,  dalam Mohtar Masoed dan Colon MacAndrews(eds),Perbandingan Sistem Politik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2006,p.32.
[7] M. Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama,Jakarta, 2003,p.41-42.
[8] C. Bylesjo & J. Ballington, International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance) , Memperkuat Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia, <http://www.komunitasdemokrasi.or.id/article/Memperkuat.pdf> diakses tanggal 4 Januari 2012.
                                       
[9] Z.Hamid, Sistem Politik Australia, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999,p.50.
[10] M. Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama,Jakarta, 2003,p.327.
[11] Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan,(online),www.bappenas.go.id diakses tanggal 4 Januari 2011.
[12] S. Blackburn, ‘Gradualisme versus lompatan demokratik : Keterwakilan politik perempuan di Australia dan Indonesia’, dalam Chusnul Ma’riyah(eds), Indonesia-Australia Tantangan dan kesempatan dalam hubungan politik bilateral,Granit,Jakarta,2005, p.149.

[13] Parawansa,K.I.,”Institution Building:An Effort to improve Indonesia Women’s Role and Status”. Women in Indonesia: Gender, Equity and Development. K. Robinson and S. Bessel. Singapore, Singapore. Institute of Southeast  Asian Studies,2002.
[14] Jakarta Post,”Women’s Caucus blasted for self-interests”, The Jakarta Post. 5 November 2001.
[15] ibid
[16] Kompas,”Keterwakilan  politik perempuan, sebuah perjuangan bersama”. Kompas. 6 Februari 2003.
[17] S. Blackburn, ‘Gradualisme versus lompatan demokratik : Keterwakilan politik perempuan di Australia dan Indonesia’, dalam Chusnul Ma’riyah(eds), Indonesia-Australia Tantangan dan kesempatan dalam hubungan politik bilateral,Granit,Jakarta,2005, p.150.
[18] Kurniawan,M.N., “No party reaches 30 percent of women running”. The Jakarta Post. 29 Januari 2004.
[19]United Nation  Development Program, Partisipasi Perempuan dalamPolitik dan Pemerintah,(online), 2010, <http://www.undp.or.id/pubs/docs/Women's%20Participation%20in%20Politics%20and%20Government%20-%20Bahasa.pdf> diakses tanggal 5 Januari 2012.
[20] Inter-Parliamentary Union, ‘Women in National Parliaments,’ (2011) < http://www.ipu.org/wmn-e/classif.htm> diakses tanggal 4 Januari 2012.

[21] Woman Research Institute, Delphi Panel: Perempuan dan Politik dalam Era Otonomi Daerah di Indonesia ( Kuota dan Desentralisasi)  (online), 2008, <http://wri.or.id/id/penelitian/Penelitian%20Politik%20dan%20Perempuan?q=id/penelitian%20politik%20dan%20perempuan/Delphi%20Panel:%20Perempuan%20dan%20Politik%20dalam%20Era%20Otonomi%20Daerah%20di%20Indonesia> diakses tanggal 4 Januari 2012.

[23] Partai-partai ini termasuk PPRN, GERINDRA (Gerakan Indonesia Raya), PAN (Partai Amanat nasional), Partai Republika  Nusantara, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Patriot
[24] Data dari beberapa Pemilu tidak tersedia baik di Kantor Arsip Nasional maupun di Sekjen DPR RI. Persentase perempuan terpilih pada pemilu tahun 2009 lebih rendah dari angka-angka yang muncul di gambar yang lain- karena angka ini merupakan angka yang diambil pada bulan April 2010. Sementara angka lain di gambar diatas diambil pada akhir masa periode jabatan. Angka-angka ini berluktuasi karena adanya pengunduran diri, pergantian antar waktu, dll.
[25] United Nation  Development Program, Partisipasi Perempuan dalamPolitik dan Pemerintah,(online), 2010, <http://www.undp.or.id/pubs/docs/Women's%20Participation%20in%20Politics%20and%20Government%20-%20Bahasa.pdf> diakses tanggal 5 Januari 2012.
[26] ibid
[27] Australian Electoral Commision, Women in Political Arena,(online), 28 Januari 2011, <http://www.aec.gov.au/Elections/australian_electoral_history/wopa.htm>, diakses tanggal 4 Januari 2012.

[28] S. Blackburn, ‘Gradualisme versus lompatan demokratik : Keterwakilan politik perempuan di Australia dan Indonesia’, dalam Chusnul Ma’riyah(eds), Indonesia-Australia Tantangan dan kesempatan dalam hubungan politik bilateral,Granit,Jakarta,2005, p.141.
[29] Whip, R and Fletcher, D.1999. Changing Characteristics of Women on Local Government
Councils in Australia: 1982-1993.
[30] Drabsch, T, ‘Women in Parliament: The current Situation,’ New South Wales Parliamentary Library
Research Service, Briefing Paper No 9/03 (2003) at p15
[31] Z.Hamid, Sistem Politik Australia, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999,p.144-145.
[32] S. Blackburn, ‘Gradualisme versus lompatan demokratik : Keterwakilan politik perempuan di Australia dan Indonesia’, dalam Chusnul Ma’riyah(eds), Indonesia-Australia Tantangan dan kesempatan dalam hubungan politik bilateral,Granit,Jakarta,2005, p.141.
[33] Drabsch, T, ‘Women in Parliament: The current Situation,’ New South Wales Parliamentary Library
Research Service, Briefing Paper No 9/03 (2003) at p21
[34] Wilson, J, ‘Composition of Australian Parliaments by Party and Gender,’ (2009) <www.aph.gov.au>
Diakses tanggal 4 Januari 2012.
[35]  Drabsch, T, ‘Women in Parliament: The current Situation,’ New South Wales Parliamentary Library
Research Service, Briefing Paper No 9/03 (2003) at p31                    
[36] Orr, G, (2000) ‘The Law Comes to the Party; the Continuing Juridification of Political Parties in
Australia,’ 3 Constitutional Law and Policy Review 41 at p45
[37] Scott v Gray [1999] HREOCA 15; Orr, G, (2000) ‘The Law Comes to the Party; the Continuing
Juridification of Political Parties in Australia,’ 3 Constitutional Law and Policy Review 41 at p45
[38] Inter-Parliamentary Union, ‘Women in National Parliaments,’ (2011) < http://www.ipu.org/wmn-e/classif.htm> diakses tanggal 4 Januari 2012.
[39] ibid
[41] Composition of Australian Parliaments by Party and Gender, 13 October 2011, <http://www.aph.gov.au/library/intguide/pol/currentwomen.pdf> diakses tanggal 2 Januari 2012.
[42] Swedia, Denmark, Norwegia dan Finlandia telah mencapai persentase perempuan di parlemen antara 36 sampai 45 persen (Inter-Parliament Union,2004)

[43] Woman Research Institute, Delphi Panel: Perempuan dan Politik dalam Era Otonomi Daerah di Indonesia ( Kuota dan Desentralisasi)  (online), 2008, <http://wri.or.id/id/penelitian/Penelitian%20Politik%20dan%20Perempuan?q=id/penelitian%20politik%20dan%20perempuan/Delphi%20Panel:%20Perempuan%20dan%20Politik%20dalam%20Era%20Otonomi%20Daerah%20di%20Indonesia> diakses tanggal 4 Januari 2012.

[44] United Nation  Development Program, Partisipasi Perempuan dalamPolitik dan Pemerintah,(online), 2010, <http://www.undp.or.id/pubs/docs/Women's%20Participation%20in%20Politics%20and%20Government%20-%20Bahasa.pdf> diakses tanggal 5 Januari 2012.

[45]Department of foreign affairs and trade,  Women towards equality, (online), 2010, <http://www.dfat.gov.au/facts/women.html>, diakses tanggal 5 Januari 2012


[46] Australian Bureau of Statistics, Education and Work, May 2008, Catalogue No. 6227.0, ABS, Canberra, 2008, Table 8. The reference population is those aged 15-64 years
[47] Australian Bureau of Statistics, Education and Work, May 2007, Catalogue No. 6227.0, ABS, Canberra, 2008, Table 8.

[48]Australian Government, Departement of Families, Housing, Community service and indigenous affair, Women in Australia 2009 ,(online),2009

[49] Educational Policy Institute, Global Higher Education Educational Policy Institute, Ranking, 2005, <http://www.educationalpolicy.org/pdf/global2005.pdf> diakses tanggal 5 Januari 2012.
[50] Indonesia sejak tahun 1994 menetapkan bahwa pendidikan dasar waj ib lamanya sembi lan tahun: enam tahun di sekolah dasar (untuk anak usia 7-12
tahun) dan tiga tahun di sekolah lanjutan per tama (usia 13-15 tahun).
[51] Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan,(online),www.bappenas.go.id diakses tanggal 4 Januari 2011.
[52] APM adalah jumlah anak kelompok usia ter tentu yang duduk di bangku sekolah dibandingkan dengan jumlah seluruh anak dalam kelompok usia
tersebut.  Untuk pendidikan di sekolah dasar, kelompok usia anak-anaknya adalah 7-12 tahun, sedangkan untuk pendidikan di sekolah lanjutan
pertama, kelompok usianya 13-15 tahun.
[53] Angka putus sekolah adalah perbandingan antara jumlah anak yang berhenti sekolah pada saat tahun ajaran masih berlangsung, termasuk mereka
yang sudah lulus tetapi tidak meneruskan ke jenjang berikutnya, dari jumlah seluruh anak yang terdaftar di sekolah pada tahun ajaran tersebut.
[54] United Nation  Development Program, Partisipasi Perempuan dalamPolitik dan Pemerintah,(online), 2010, < http://www.undp.or.id/pubs/docs/Women's%20Participation%20in%20Politics%20and%20Government%20-%20Bahasa.pdf> diakses tanggal 5 Januari 2012.