ANALISIS PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN AUSTRALIA
DI PARLEMEN NASIONAL PADA TAHUN 2010
“...pembangunan yang utuh dan menyeluruh dari
suatu negara, kesejahteraan dunia
dan perjuangan
menjaga perdamaian menuntut partisipasi penuh kaum perempuan
dalam kedudukan yang sejajar dengan laki-laki
dalam segala bidang. “
Konvensi
PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan, tahun 1979
Kutipan diatas
merupakan salah satu potongan dari isi konvensi PBB tentang penghapusan segala
bentuk diskriminasi terhadap perempuan (The
UN Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women - CEDAW) yang disahkan dan diterima oleh
Dewan Umum PBB pada tahun 1979. Saat ini setidaknya sudah ada lebih dari 170
negara yang telah meratifikasinya, termasuk juga Australia. [1]
Dengan meratifikasi konvensi ini, sudah
seharusnya Australia melakukan berbagai tindakan yang dapat membantu
terwujudnya kesetaraan perempuan dan laki-laki di berbagai bidang termasuk juga
di bidang politik, salah satunya yaitu dengan mendorong tingkat keterwakilan
perempuan di parlemen. Seperti yang diketahui, parlemen merupakan pusat segala
kegiatan politik bagi Australia, dilembaga inilah semua keputusan yang
menyentuh kehidupan masyarakat, pemerintahan, dan kenegaraan dibuat. Di
lembaga-lembaga ini pulalah anggota-anggota terpilih dari partai-partai politik
utama mendiskusikan dan sekaligus berdebat tentang semua aturan yang mengikat
dan berpengaruh bagi anggota masyarakat dan juga sedikit banyak tentunya akan
menyumbang kepada pembentukan karakter
masyarakat Australia.
Melihat pentingnya peran dari parlemen ini,
maka sudah sewajarnya dibutuhkan keseimbangan partisipasi politik dari
anggotanya baik itu perempuan maupun laki-laki sehingga bisa tercapainya
kepentingan serta kesejahteraan bagi semua golongan. Tetapi sayangnya saat ini
berdasarkan fakta yang ada rata-rata keterwakilan perempuan pada parlemen di
seluruh dunia hanyalah 18,3 persen.[2].
Hal ini ironis sekali mengingat jumlah wanita merupakan setengah dari seluruh
populasi manusia di dunia dan tentunya memiliki berbagai macam kepentingan dan
permasalahan yang harus diselesaikan.[3]
Oleh karena itulah dalam
perkembangannya negara-negara di dunia mulai memikirkan suatu tindakan yang
dirasa dapat membantu meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen salah
satunya seperti dengan memberikan kuota tertentu bagi perempuan di parlemen,
seperti hal nya yang dilakukan Rwanda. Hal ini terbukti efektif dalam
meningkatkan jumlah perwakilan perempuan di parlemen bahkan berdasarka survey yang
dilakukan oleh Inter Parliamentary Union
pada 2010 lalu, dari 188 negara Rwanda berhasil menempati peringkat pertama
negara dengan tingkat keterwakilan perempuan paling tinggi.[4]
Dalam esai ini,
penulis akan membahas mengenai partisipasi politik perempuan Australia di
parlemen nasionalnya pada tahun 2010 yang tercatat cukup baik dan terlihat mengalami peningkatan dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya. Padahal, Australia sampai saat ini tidak
memiliki peraturan nasional yang menetapkan rekomendasi pemberian kuota untuk
perempuan di parlemen. Satu-satunya partai di Australia yang tercatat telah
memperkenalkan kuota untuk meningkatkan partisipasi perempuan
hanyalah Australian Labour Party (ALP) atau biasa disebut Partai Buruh Australia .
Hal lainnya, bahkan tingkat partisipasi
perempuan di parlemen Australia pun lebih tinggi daripada tingkat partisipasi
perempuan di parlemen di Indonesia. Hal ini kemudian menjadi menarik untuk
dianalisis mengingat Indonesia padahal telah membuat peraturan nasional yang
merekomendasikan pemberian kuota gender secara nasional bagi setiap partai
politik yang ingin mengikuti pemilu. Oleh karena itulah kemudian penulis akan
menganalisis faktor-faktor apa saja yang membuat Australia berhasil memperoleh
pencapaian sebaik itu bahkan tanpa adanya peraturan nasional tentang pemberian
kuota sekalipun.
Dalam esai ini
penulis akan menggunakan konsep Structural
Functional Approach yang dikemukakan oleh ilmuwan politik Gabriel Almond
dan Bingham Powell. Mereka berargumen bahwa untuk membandingkan suatu sistem
politik sebaiknya tidak hanya melalui strukturnya saja, tetapi juga fungsinya
Dengan memahami fungsi-fungsi yang berjalan dalam struktur tersebut, kita bisa
membandingkan berbagai sistem politik dengan lebih baik. Kita dapat memperoleh
lebih banyak informasi bila kita memisahkan struktur dari fungsi, dan menelaah
hubungan keduanya dalam berbagai sistem politik yang berbeda.[5]
Seperti yang diketahui.
parlemen Australia terdiri atas dua majelis yaitu majelis rendah yang disebut
dengan House of Representatives (HoR) dan majelis tinggi yang disebut senate (senat). [6]
Kedua majelis ini memiliki peran yang sama-sama penting dalam proses pembuatan kebijakan di
Australia. Pada pemilu yang dilakukan pada tahun 2010 lalu, partisipasi politik
perempuan Australia di parlemen terhitung cukup baik bila dibandingkan dengan
negara lain. Tercatat jumlah wanita yang terpilih di HoR adalah 37 orang dari
total 150 anggota Hor atau setara dengan 24, 7 persen. Sedangkan di senat, jumlah perempuan yang
terpilih adalah 27 orang dari 76 kursi yang tersedia atau setara dengan 35,5
persen.[7]
Angka ini tercatat
mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Bila
dibandingkan dengan pemilu 10 tahun yang sebelumnya pada tahun 2000, terjadi
peningkatan jumlah keterwakilan perempuan yang cukup baik di senat yaitu dari
28,9 persen menjadi 35, 5 persen. Sedangkan peningkatan jumlah anggota perempuan
di House of Representative tidak
terlalu tinggi, yaitu dari 23 persen menjadi 24,7 persen.[8]
Bahkan berdasarkan survey yang dilakukan oleh Inter Parliamentary Union pada 2010 lalu, dari 188 negara Australia berhasil
menduduki peringkat ke 29 negara dengan tingkat partisipasi politik
perempuan tertinggi di parlemen nasionalnya.[9]
Mengingat Australia
sebenarnya bahkan tidak memiliki peraturan nasional yang sangat mendorong
keterwakilan perempuan di parlemen seperti dengan pemberian kuota, tentunya
pencapaian ini merupakan suatu hal yang sangat membanggakan. Terlebihnya
sebenarnya bila diperhatikan lebih lanjut sistem pemilu di Australia tidaklah
menguntungkan bagi peningkatan jumlah perempuan di parlemen. Sistem pemilu Australia yang menganut sistem single majority atau Single
Member District (SMD) sebagai
bagian dari warisan kolonial Inggris pada faktanya telah menghalangi peran
perempuan untuk melangkah maju atau terpilih sebagai kandidat. Hal ini disebabkan karena
sistem pemilu ini hanya mengizinkan satu anggota parlemen untuk mewakili satu
daerah pemilihan sehingga kesempatan perempuan untuk terpilih pun semakin kecil[10]
Tetapi untungnya sistem ini hanya
berlaku bagi pemilihan anggota majelis rendah federal (House of representatives) dan sebagian besar parlemen negara
bagian. Sedangkan untuk pemilihan senator di tingkat federal, diberlakukan
sistem pemilu proportional representation
atau perwakilan berimbang yang memungkinkan setiap daerah pemilihan
memiliki lebih dari satu anggota parlemen atau yang dikenal dengan sistem multi-member constituency.[11] Hal inilah yang
kemudian menjadi salah satu alasan mengapa pada pemilu tahun 2010 lalu jumlah
perwakilan perempuan di senat lebih banyak daripada di HoR.
Setidaknya terdapat 2 faktor yang
menyebabkan mengapa tingkat perwakilan partisipasi perempuan Australia di parlemen
tetap mengalami peningkatan dari tahun ke tahun serta bahkan mencapai
pencapaian yang lebih tinggi
dibandingkan dengan negara lain, meskipun masih terdapat sistem pemilu
distrik yang diberlakukan di beberapa pemilu
serta tanpa perlu membuat peraturan nasional yang
memberikan kuota bagi perempuan dalam tiap daftar kandidat partai politik yang
mengikuti pemilu.
Faktor yang pertama adalah faktor tingkat
pendidikan di Australia yang sudah cukup baik di semua lapisan masyarakat
Australia. Bahkan pendidikan
di Australia telah sampai pada perkembangan dimana lebih banyak
perempuan dibandingkan laki-laki yang dididik di sekolah
menengah dan universitas, dan jumlah wanita yang lulus
dari universitas dengan gelar sarjana pun lebih banyak
dari laki-laki . Pada tahun
2006, perempuan menyumbang 54,8 persen dari semua
siswa pendidikan tinggi dan 47,5 persen dari semua siswa
yang terdaftar dalam pendidikan kejuruan dan pelatihan. [12]
Sedangkan untuk
data di perguruan tinggi, pada bulan Mei 2008 lalu, tercatat 7.470.000 warga
Australia yang masuk ke perguruan tinggi dimana 3.650.000.
diantaranya adalah wanita[13]. Selain
itu, berdasarkan survey dilakukan pada 2009 lalu jumlah perempuan yang
mengambil jurusan sosial seperti politk di perguruan tinggi pun bahkan lebih
tinggi daripada laki-laki. Minat perempuan Australia yang tinggi dibidang
sosial seperti ini lah yang kemudian juga dapat menjadi salah satu pendorong
bagi mereka untuk terlibat dalam bidang politik, salah satunya dengan menjadi
anggota parlemen.
Selain itu,
pemerintah Australia juga aktif dalam memberikan kemudahan-kemudahan dalam
mengakses pendidikan disana, seperti biaya pendidikan dan sebagainya, yang
mengantarkan Australia pada peringkat ke 12 negara dengan sistem pendidikan
tinggi yang paling terjangkau berdasarkan Global
Higher Education Report pada tahun 2005. Australia bahkan berada satu
tingkat di atas Amerika Serikat.[14]
Kemudahan-kemudahan ini tentu saja akan membantu memudahkan akses bagi rakyat
Australia tidak terkecuali perempuan untuk memperoleh pendidikan yang lebih
baik.
Dengan kualitas
pendidikan yang baik pada perempuan di Australia tersebut pada akhirnya telah
menghasilkan sumber daya perempuan yang berkualitas pula. Dengan pendidikannya
yang tinggi tersebut mereka tidak perlu lagi merasa takut untuk bersaing dengan
laki-laki di berbagai bidang termasuk juga bidang politik. . Pendidikan
tersebut telah membuka pikiran para perempuan di Australia sehingga mereka
semakin tertarik untuk terjun ke dunia politik.
Kesempatan mereka untuk bisa mencalonkan diri bahkan terpilih di
parlemen pun semakin besar Seperti yang dikatakan oleh Richard E. Matland bahwa
bagi perempuan agar terpilih masuk ke parlemen, setidaknya mereka harus melalui
tiga rintangan krusial, pertama, mereka perlu menyeleksi dirinya sendiri untuk
pencalonan. Kedua, mereka perlu diseleksi sebagai kandidat oleh partai, dan
ketiga, mereka perlu diseleksi oleh pemilih.[15]
Denga adanya
pendidikan yang baik di Australia ini bisa kita lihat telah sangat membantu
wanita Australia untuk melewati tiga tantangan tersebut. Mulai dari tantangan
menyeleksi diri sendiri dimana pendidikan yang mereka peroleh telah membantu
meningkatkan kepercayaan diri mereka serta mengurangi pola pikir yang sering
berkembang di masyarakat bahwa perempuan lebih rendah daripada daripada
laki-laki serta tidak cocok untuk masuk ke dunia politik. Dengan pendidikan
yang baik ini juga tentunya telah menyebabkan para perempuan ini akan lebih terkualifikasi
untuk terpilih menjadi anggota parlemen baik dari seleksi partai politik maupun
dari pemilih sendiri.
Pendidikan yang berkualitas
bagi penduduk Australia ini juga telah memberikan
pemahaman yang lebih baik bagi para pemilih di Ausralia akan pentingnya
kesetaraan gender dalam parlemen agar kepentingan rakyat dari berbagai lapisan
dapat terpenuhi. Terlebih lagi pendidikan yang baik juga telah melahirkan
berbagai macam gerakan perempuan yang dapat melobi partai politik serta
mempengaruhi pemilih untuk memilih perwakilan perempuan di parlemen. Salah satu
gerakan perempuan yang hingga saat ini aktif memperjuangkan kepentingan
perempuan serta mengkampanyekan pentingnya kesetaran gender di berbagai bidang
adalah Women Electoral Lobby.[16] Tidak
hanya sampai level parlemen saja, Australia bahkan pada tahun 2010 lalu telah
memiliki perdana menteri perempuan pertamanya yaitu Julia Gillard. Tingginya
tingkat pendidikan pada perempuan di Australia inilah yang menurut penulis menjadi
faktor yang paling penting sehingga menyebabkan Australia dapat memperoleh
pencapaian tingkat partisipasi politik perempuan yang cukup tinggi di
parlemennya.
Faktor yang kedua adalah adanya dukungan
serta usaha-usaha dari partai-partai politik di Australia untuk meningkatkan
keterwakilan perempuan di parlemen. Walaupun cara-cara yang dilakukan
partai-partai ini berbeda-beda serta pemerintah Australia sendiri belum membuat
sistem pemberian kuota secara nasional, tetapi tetap saja usaha-usaha yang
dilakukan partai politik ini tidak dapat diabaikan begitu saja karena pada
kenyatannya usaha tersebut telah memberikan kontribusi yang baik bagi
peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen.
Seperti yang diketahui, partai buruh merupakan satu-satunya partai di
Australia yang telah memperkenalkan kuota untuk
meningkatkan partisipasi perempuan di parlemen. Secara
resmi kuota ini diperkenalkan pada tahun 1994, dimana 35%
wanita harus terpilih untuk kursi yang dapat dimenangkan pada
tahun 2002, dan akan meningkat menjadi 40% pada tahun 2012.[17]
Oleh karena itulah , tidak heran bila hingga saat ini
partai Buruh memiliki
tingkat keterwakilan perempuan tertinggi dengan
rata-rata 37%, dibandingkan dengan Partai Liberal
dengan 22,1% dan Nationals dengan 15,4%.[18]
Walaupun begitu partai-partai lainnya pun seperti
Partai liberal dan partai nasional tanpa harus memberikan
sistem kuota tetap mendukung keterwakilan politik perempuan di parlemen dengan
cara lainnya seperti mentoring, networking program, dan seminar keterampilan.[19] Setidaknya
dengan adanya peningkatan jumlah keterwakilan perempuan di partai tersebut,
kemudian akan membawa kesempatan yang lebih besar lagi bagi perempuan-perempuan
tersebut untuk dapat terpilih di parlemen dan memperjuangkan berbagai
kepentingan serta masalah-masalah yang sering menimpa kaum perempuan, seperti
diskriminasi, kekerasan dalam rumah tangga dan sebagainya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat berbagai
faktor-faktor yang menyebabkan tingginya
partisipasi politik perempuan Australia di parlemen yaitu pendidikan
yang baik serta dukungan dari partai-partai politik di Australia. Kita bisa
melihat dan menyimpulkan bahwa struktur-struktur yang dapat mempengaruhi
peningkatan partisipasi politik perempuan di parlemen itu, yaitu pendidikan dan
partai politik telah menjalankan perannya dengan baik.. Fungsi-fungsi yang
berjalan pada struktur pendidikan serta partai politik tersebut telah dijalankan
dengan cukup efektif sehingga berhasil membantu meningkatkan partisipasi
perempuan Australia di parlemen.
Walaupun begitu kedepannya Australia masih harus
melakukan berbagai perbaikan lainnya, mengingat Australia belum mencapai 40
persen keterwakilan perempuannya di parlemen. Perbaikan ini bisa perubahan
sistem pemilu sehingga bisa lebih menguntungkan bagi keterwakilan perempuan
serta pembuatan peraturan yang menerapkan pemeberian kuota bagi perempuan di
parlemen seperti hal nya yang dilakukan di Rwanda. Dengan dilakukannya
perbaikan-perbaikan tersebut, diharapkan kedepannya akan terbentuk critical mass perempuan atau basis kekuatan massa
perempuan yang cukup banyak di parlemen sehingga dapat menghancurkan diskriminasi gender dan pada
jumlah yang substansial dapat menembus benteng utama dalam pembuatan kebijakan
sehingga perempuan lebih dapat memperjuangkan kepentingannya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Australian Bureau
of Statistics, Education and Work, May 2008, Catalogue No. 6227.0,
ABS, Canberra, 2008, Table 8. The reference population is those aged 15-64
years
Drabsch, T, ‘Women
in Parliament: The current Situation,’ New South Wales Parliamentary Library
Research Service, Briefing Paper No 9/03 (2003) at p15
Inter-Parliamentary
Union, Women in Parliament in 2007: The Year in Perspective, SADAG Publishing,
France,
2008 p. 1.
M. Budiardjo,. Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia
Pustaka Utama,Jakarta, 2003,p. 316.
Scott v Gray [1999]
HREOCA 15; Orr, G, (2000) ‘The Law Comes to the Party; the Continuing
Juridification of Political Parties in Australia,’ 3 Constitutional Law and
Policy Review 41 at p45
Z.Hamid,
Sistem Politik Australia, PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung, 1999,p.50.
Sumber online
Department of
foreign affairs and trade, Women towards equality, (online), 2010, <http://www.dfat.gov.au/facts/women.html>, diakses tanggal 5 Januari 2012
Division for the
Advancement of Women, Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination against Women, (online),2007,<http://www.un.org/womenwatch/daw/cedaw/reports.htm> diakses tanggal 4 Januari 2012.
Educational Policy
Institute, Global Higher Education
Educational Policy Institute, Ranking, 2005, <http://www.educationalpolicy.org/pdf/global2005.pdf> diakses tanggal 5 Januari 2012.
Inter-Parliamentary Union,
‘Women in National Parliaments,’ (2011) < http://www.ipu.org/wmn-e/classif.htm> diakses tanggal 4 Januari 2012.
Parliament of
Australia, Parliamentary Library Briefing Book - Composition of the 43rd Parliament ,2010, <http://www.aph.gov.au/library/pubs/BriefingBook43p/composition-43rd-parliament-figure.htm> diakses tanggal 4 Januari 2012.
R.E. Matland,
International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance ,Meningkatkan Partisipasi Politik Perempuan:
Rekrutmen Legislatif dan Sistem Pemilihan,(online),<http://www.idea.int/publications/wip/upload/Chapter3.pdf>diakses tanggal 5 Januari 2012.
Women Electoral
Lobby, History of Woman Electoral Lobby, (online),<http://wel.org.au/index.php/who-we-are/our-history/> diakses tanggal 4 Januari 2012.
[1] Division for the Advancement of Women, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against
Women, (online),2007,<http://www.un.org/womenwatch/daw/cedaw/reports.htm> diakses tanggal 4 Januari 2012.
[2] Inter-Parliamentary Union, Women in Parliament in 2007: The Year in
Perspective, SADAG Publishing, France,
2008 p. 1.
[3] As of 2010 there will be 101.7 males per 100 females: United Nations
Department of Economic and Social
Affairs, Population Division, World
Population Prospects: The 2008 Revision Population Database, United
Nations
<http://www.esa.un.org/unpp/p20kdata.asp>, diakses tanggal 4 Januari
2012.
[4] Inter-Parliamentary Union, ‘Women in National Parliaments,’
(2011) < http://www.ipu.org/wmn-e/classif.htm>
diakses tanggal 4 Januari 2012.
[5] G.A. Almond. ‘Studi Perbandingan Sistem Politik’, dalam Mohtar Masoed dan Colon
MacAndrews(eds),Perbandingan Sistem
Politik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2006,p.32.
[6] Z.Hamid, Sistem Politik
Australia, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999,p.50.
[7] Inter-Parliamentary Union, ‘Women in National Parliaments,’
(2011) < http://www.ipu.org/wmn-e/classif.htm>
diakses tanggal 4 Januari 2012.
[8] Parliament of Australia, Parliamentary Library Briefing Book - Composition of the 43rd Parliament ,2010, <http://www.aph.gov.au/library/pubs/BriefingBook43p/composition-43rd-parliament-figure.htm> diakses tanggal 4 Januari 2012
[9] Inter-Parliamentary Union, ‘Women in National Parliaments,’
(2011) < http://www.ipu.org/wmn-e/classif.htm>
diakses tanggal 4 Januari 2012.
[10] Drabsch, T, ‘Women in Parliament: The current Situation,’ New South
Wales Parliamentary Library
Research Service, Briefing Paper No 9/03
(2003) at p15
[11] Z.Hamid, Sistem Politik
Australia, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999,p.144-145.
[12]Department
of foreign affairs and trade, Women towards equality, (online), 2010, <http://www.dfat.gov.au/facts/women.html>,
diakses tanggal 5 Januari 2012
[13] Australian Bureau of Statistics, Education and Work, May 2008,
Catalogue No. 6227.0, ABS, Canberra, 2008, Table 8. The reference population is
those aged 15-64 years
[14] Educational Policy Institute, Global
Higher Education Educational Policy Institute, Ranking, 2005, <http://www.educationalpolicy.org/pdf/global2005.pdf> diakses tanggal 5 Januari 2012.
[15]R.E. Matland, International IDEA (Institute for Democracy and Electoral
Assistance ,Meningkatkan Partisipasi
Politik Perempuan: Rekrutmen Legislatif dan Sistem Pemilihan,(online),<http://www.idea.int/publications/wip/upload/Chapter3.pdf>diakses tanggal 5 Januari 2012.
[16] Women Electoral Lobby, History of Woman Electoral Lobby, (online),<http://wel.org.au/index.php/who-we-are/our-history/> diakses tanggal 4 Januari 2012.
[17] Drabsch, T, ‘Women in Parliament: The current Situation,’ New South
Wales Parliamentary Library
Research Service, Briefing Paper No 9/03
(2003) at p21
[18] Wilson, J, ‘Composition of Australian Parliaments by Party and Gender,’
(2009) <www.aph.gov.au>
Diakses tanggal 4 Januari 2012.
[19] Drabsch, T, ‘Women in
Parliament: The current Situation,’ New South Wales Parliamentary Library
Research
Service, Briefing Paper No 9/03 (2003) at p31
thanks banget gan untuk datanya, ngebantu banget buat skripsi ane
BalasHapussiiip, sama-sama gan. Senang bisa membantu :D
BalasHapus