Senin, 13 Agustus 2012

ANALISIS PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN AUSTRALIA DI PARLEMEN NASIONAL PADA TAHUN 2010


ANALISIS PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN AUSTRALIA
DI PARLEMEN NASIONAL PADA TAHUN 2010

“...pembangunan yang utuh dan menyeluruh dari suatu negara, kesejahteraan dunia
dan perjuangan menjaga perdamaian menuntut partisipasi penuh kaum perempuan
dalam kedudukan yang sejajar dengan laki-laki dalam segala bidang.

   Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
                                                                                    terhadap Perempuan, tahun 1979

Kutipan diatas merupakan salah satu potongan dari isi konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (The UN Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women  - CEDAW) yang disahkan dan diterima oleh Dewan Umum PBB pada tahun 1979. Saat ini setidaknya sudah ada lebih dari 170 negara yang telah meratifikasinya, termasuk juga Australia. [1]
 Dengan meratifikasi konvensi ini, sudah seharusnya Australia melakukan berbagai tindakan yang dapat membantu terwujudnya kesetaraan perempuan dan laki-laki di berbagai bidang termasuk juga di bidang politik, salah satunya yaitu dengan mendorong tingkat keterwakilan perempuan di parlemen. Seperti yang diketahui, parlemen merupakan pusat segala kegiatan politik bagi Australia, dilembaga inilah semua keputusan yang menyentuh kehidupan masyarakat, pemerintahan, dan kenegaraan dibuat. Di lembaga-lembaga ini pulalah anggota-anggota terpilih dari partai-partai politik utama mendiskusikan dan sekaligus berdebat tentang semua aturan yang mengikat dan berpengaruh bagi anggota masyarakat dan juga sedikit banyak tentunya akan menyumbang kepada pembentukan  karakter masyarakat Australia.
 Melihat pentingnya peran dari parlemen ini, maka sudah sewajarnya dibutuhkan keseimbangan partisipasi politik dari anggotanya baik itu perempuan maupun laki-laki sehingga bisa tercapainya kepentingan serta kesejahteraan bagi semua golongan. Tetapi sayangnya saat ini berdasarkan fakta yang ada rata-rata keterwakilan perempuan pada parlemen di seluruh dunia hanyalah 18,3 persen.[2]. Hal ini ironis sekali mengingat jumlah wanita merupakan setengah dari seluruh populasi manusia di dunia dan tentunya memiliki berbagai macam kepentingan dan permasalahan yang harus diselesaikan.[3]   Oleh karena itulah dalam perkembangannya negara-negara di dunia mulai memikirkan suatu tindakan yang dirasa dapat membantu meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen salah satunya seperti dengan memberikan kuota tertentu bagi perempuan di parlemen, seperti hal nya yang dilakukan Rwanda. Hal ini terbukti efektif dalam meningkatkan jumlah perwakilan perempuan di parlemen bahkan berdasarka survey yang dilakukan oleh Inter Parliamentary Union pada 2010 lalu, dari 188 negara Rwanda berhasil menempati peringkat pertama negara dengan tingkat keterwakilan perempuan paling tinggi.[4]
Dalam esai ini, penulis akan membahas mengenai partisipasi politik perempuan Australia di parlemen nasionalnya pada tahun 2010 yang tercatat cukup baik dan terlihat  mengalami peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Padahal, Australia sampai saat ini tidak memiliki peraturan nasional yang menetapkan rekomendasi pemberian kuota untuk perempuan di parlemen. Satu-satunya partai di Australia yang tercatat telah memperkenalkan kuota untuk meningkatkan partisipasi perempuan hanyalah Australian Labour Party (ALP) atau biasa disebut Partai Buruh Australia .
Hal lainnya, bahkan tingkat partisipasi perempuan di parlemen Australia pun lebih tinggi daripada tingkat partisipasi perempuan di parlemen di Indonesia. Hal ini kemudian menjadi menarik untuk dianalisis mengingat Indonesia padahal telah membuat peraturan nasional yang merekomendasikan pemberian kuota gender secara nasional bagi setiap partai politik yang ingin mengikuti pemilu. Oleh karena itulah kemudian penulis akan menganalisis faktor-faktor apa saja yang membuat Australia berhasil memperoleh pencapaian sebaik itu bahkan tanpa adanya peraturan nasional tentang pemberian kuota sekalipun.
Dalam esai ini penulis akan menggunakan konsep Structural Functional Approach yang dikemukakan oleh ilmuwan politik Gabriel Almond dan Bingham Powell. Mereka berargumen bahwa untuk membandingkan suatu sistem politik sebaiknya tidak hanya melalui strukturnya saja, tetapi juga fungsinya Dengan memahami fungsi-fungsi yang berjalan dalam struktur tersebut, kita bisa membandingkan berbagai sistem politik dengan lebih baik. Kita dapat memperoleh lebih banyak informasi bila kita memisahkan struktur dari fungsi, dan menelaah hubungan keduanya dalam berbagai sistem politik yang berbeda.[5]
Seperti yang diketahui. parlemen Australia terdiri atas dua majelis yaitu majelis rendah yang disebut dengan House of Representatives (HoR)  dan majelis tinggi yang disebut senate (senat). [6] Kedua majelis ini memiliki peran yang sama-sama penting  dalam proses pembuatan kebijakan di Australia. Pada pemilu yang dilakukan pada tahun 2010 lalu, partisipasi politik perempuan Australia di parlemen terhitung cukup baik bila dibandingkan dengan negara lain. Tercatat jumlah wanita yang terpilih di HoR adalah 37 orang dari total 150 anggota Hor atau setara dengan 24, 7 persen.  Sedangkan di senat, jumlah perempuan yang terpilih adalah 27 orang dari 76 kursi yang tersedia atau setara dengan 35,5 persen.[7]
Angka ini tercatat mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Bila dibandingkan dengan pemilu 10 tahun yang sebelumnya pada tahun 2000, terjadi peningkatan jumlah keterwakilan perempuan yang cukup baik di senat yaitu dari 28,9 persen menjadi 35, 5 persen. Sedangkan peningkatan jumlah anggota perempuan di House of Representative tidak terlalu tinggi, yaitu dari 23 persen menjadi 24,7 persen.[8] Bahkan berdasarkan survey yang dilakukan oleh Inter Parliamentary Union pada 2010 lalu, dari 188 negara Australia berhasil menduduki peringkat ke 29 negara dengan tingkat partisipasi politik perempuan tertinggi di parlemen nasionalnya.[9]
Mengingat Australia sebenarnya bahkan tidak memiliki peraturan nasional yang sangat mendorong keterwakilan perempuan di parlemen seperti dengan pemberian kuota, tentunya pencapaian ini merupakan suatu hal yang sangat membanggakan. Terlebihnya sebenarnya bila diperhatikan lebih lanjut sistem pemilu di Australia tidaklah menguntungkan bagi peningkatan jumlah perempuan di parlemen. Sistem pemilu  Australia yang menganut sistem single majority atau Single Member District (SMD) sebagai bagian dari warisan kolonial Inggris pada faktanya telah menghalangi peran perempuan untuk melangkah maju atau terpilih sebagai kandidat. Hal ini disebabkan karena sistem pemilu ini hanya mengizinkan satu anggota parlemen untuk mewakili satu daerah pemilihan sehingga kesempatan perempuan untuk terpilih pun semakin kecil[10]
Tetapi untungnya sistem ini hanya berlaku bagi pemilihan anggota majelis rendah federal (House of representatives) dan sebagian besar parlemen negara bagian. Sedangkan untuk pemilihan senator di tingkat federal, diberlakukan sistem pemilu proportional representation atau perwakilan berimbang yang memungkinkan setiap daerah pemilihan memiliki lebih dari satu anggota parlemen atau yang dikenal dengan sistem multi-member constituency.[11] Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan mengapa pada pemilu tahun 2010 lalu jumlah perwakilan perempuan di senat lebih banyak daripada di HoR.
Setidaknya terdapat 2 faktor yang menyebabkan mengapa tingkat perwakilan partisipasi perempuan Australia di parlemen tetap mengalami peningkatan dari tahun ke tahun serta bahkan mencapai pencapaian yang lebih tinggi  dibandingkan dengan negara lain, meskipun masih terdapat sistem pemilu distrik yang diberlakukan di beberapa pemilu  serta tanpa perlu membuat peraturan nasional yang memberikan kuota bagi perempuan dalam tiap daftar kandidat partai politik yang mengikuti pemilu.
Faktor yang pertama adalah faktor tingkat pendidikan di Australia yang sudah cukup baik di semua lapisan masyarakat Australia. Bahkan pendidikan di Australia telah sampai pada perkembangan dimana lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki yang dididik di sekolah menengah dan universitas, dan jumlah wanita yang lulus dari universitas dengan gelar sarjana pun lebih banyak dari laki-laki . Pada tahun 2006, perempuan menyumbang 54,8 persen dari semua siswa pendidikan tinggi dan 47,5 persen dari semua siswa yang terdaftar dalam pendidikan kejuruan dan pelatihan. [12]
Sedangkan untuk data di perguruan tinggi, pada bulan Mei 2008 lalu, tercatat 7.470.000 warga Australia yang masuk ke perguruan tinggi dimana 3.650.000. diantaranya adalah wanita[13]. Selain itu, berdasarkan survey dilakukan pada 2009 lalu jumlah perempuan yang mengambil jurusan sosial seperti politk di perguruan tinggi pun bahkan lebih tinggi daripada laki-laki. Minat perempuan Australia yang tinggi dibidang sosial seperti ini lah yang kemudian juga dapat menjadi salah satu pendorong bagi mereka untuk terlibat dalam bidang politik, salah satunya dengan menjadi anggota parlemen.
Selain itu, pemerintah Australia juga aktif dalam memberikan kemudahan-kemudahan dalam mengakses pendidikan disana, seperti biaya pendidikan dan sebagainya, yang mengantarkan Australia pada peringkat ke 12 negara dengan sistem pendidikan tinggi yang paling terjangkau berdasarkan Global Higher Education Report pada tahun 2005. Australia bahkan berada satu tingkat di atas Amerika Serikat.[14] Kemudahan-kemudahan ini tentu saja akan membantu memudahkan akses bagi rakyat Australia tidak terkecuali perempuan untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik.
Dengan kualitas pendidikan yang baik pada perempuan di Australia tersebut pada akhirnya telah menghasilkan sumber daya perempuan yang berkualitas pula. Dengan pendidikannya yang tinggi tersebut mereka tidak perlu lagi merasa takut untuk bersaing dengan laki-laki di berbagai bidang termasuk juga bidang politik. . Pendidikan tersebut telah membuka pikiran para perempuan di Australia sehingga mereka semakin tertarik untuk terjun ke dunia politik.  Kesempatan mereka untuk bisa mencalonkan diri bahkan terpilih di parlemen pun semakin besar Seperti yang dikatakan oleh Richard E. Matland bahwa bagi perempuan agar terpilih masuk ke parlemen, setidaknya mereka harus melalui tiga rintangan krusial, pertama, mereka perlu menyeleksi dirinya sendiri untuk pencalonan. Kedua, mereka perlu diseleksi sebagai kandidat oleh partai, dan ketiga, mereka perlu diseleksi oleh pemilih.[15]
Denga adanya pendidikan yang baik di Australia ini bisa kita lihat telah sangat membantu wanita Australia untuk melewati tiga tantangan tersebut. Mulai dari tantangan menyeleksi diri sendiri dimana pendidikan yang mereka peroleh telah membantu meningkatkan kepercayaan diri mereka serta mengurangi pola pikir yang sering berkembang di masyarakat bahwa perempuan lebih rendah daripada daripada laki-laki serta tidak cocok untuk masuk ke dunia politik. Dengan pendidikan yang baik ini juga tentunya telah menyebabkan para perempuan ini akan lebih terkualifikasi untuk terpilih menjadi anggota parlemen baik dari seleksi partai politik maupun dari pemilih sendiri.
Pendidikan yang berkualitas bagi penduduk Australia ini juga telah  memberikan pemahaman yang lebih baik bagi para pemilih di Ausralia akan pentingnya kesetaraan gender dalam parlemen agar kepentingan rakyat dari berbagai lapisan dapat terpenuhi. Terlebih lagi pendidikan yang baik juga telah melahirkan berbagai macam gerakan perempuan yang dapat melobi partai politik serta mempengaruhi pemilih untuk memilih perwakilan perempuan di parlemen. Salah satu gerakan perempuan yang hingga saat ini aktif memperjuangkan kepentingan perempuan serta mengkampanyekan pentingnya kesetaran gender di berbagai bidang adalah Women Electoral Lobby.[16] Tidak hanya sampai level parlemen saja, Australia bahkan pada tahun 2010 lalu telah memiliki perdana menteri perempuan pertamanya yaitu Julia Gillard. Tingginya tingkat pendidikan pada perempuan di Australia inilah yang menurut penulis menjadi faktor yang paling penting sehingga menyebabkan Australia dapat memperoleh pencapaian tingkat partisipasi politik perempuan yang cukup tinggi di parlemennya.
Faktor yang kedua adalah adanya dukungan serta usaha-usaha dari partai-partai politik di Australia untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen. Walaupun cara-cara yang dilakukan partai-partai ini berbeda-beda serta pemerintah Australia sendiri belum membuat sistem pemberian kuota secara nasional, tetapi tetap saja usaha-usaha yang dilakukan partai politik ini tidak dapat diabaikan begitu saja karena pada kenyatannya usaha tersebut telah memberikan kontribusi yang baik bagi peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen.
Seperti yang diketahui, partai buruh merupakan satu-satunya partai di Australia yang telah memperkenalkan kuota untuk meningkatkan partisipasi perempuan di parlemen.  Secara resmi kuota ini diperkenalkan pada tahun 1994, dimana 35% wanita  harus terpilih untuk kursi yang dapat dimenangkan pada tahun 2002, dan akan meningkat menjadi 40% pada tahun 2012.[17] Oleh karena itulah , tidak heran bila hingga saat ini partai  Buruh memiliki tingkat keterwakilan perempuan  tertinggi dengan rata-rata 37%, dibandingkan dengan Partai Liberal dengan 22,1% dan Nationals dengan 15,4%.[18]
Walaupun begitu partai-partai lainnya pun seperti Partai liberal dan partai nasional tanpa harus memberikan sistem kuota tetap mendukung keterwakilan politik perempuan di parlemen dengan cara lainnya seperti mentoring, networking program, dan seminar keterampilan.[19] Setidaknya dengan adanya peningkatan jumlah keterwakilan perempuan di partai tersebut, kemudian akan membawa kesempatan yang lebih besar lagi bagi perempuan-perempuan tersebut untuk dapat terpilih di parlemen dan memperjuangkan berbagai kepentingan serta masalah-masalah yang sering menimpa kaum perempuan, seperti diskriminasi, kekerasan dalam rumah tangga dan sebagainya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat berbagai faktor-faktor yang menyebabkan tingginya  partisipasi politik perempuan Australia di parlemen yaitu pendidikan yang baik serta dukungan dari partai-partai politik di Australia. Kita bisa melihat dan menyimpulkan bahwa struktur-struktur yang dapat mempengaruhi peningkatan partisipasi politik perempuan di parlemen itu, yaitu pendidikan dan partai politik telah menjalankan perannya dengan baik.. Fungsi-fungsi yang berjalan pada struktur pendidikan serta partai politik tersebut telah dijalankan dengan cukup efektif sehingga berhasil membantu meningkatkan partisipasi perempuan Australia di parlemen.
Walaupun begitu kedepannya Australia masih harus melakukan berbagai perbaikan lainnya, mengingat Australia belum mencapai 40 persen keterwakilan perempuannya di parlemen. Perbaikan ini bisa perubahan sistem pemilu sehingga bisa lebih menguntungkan bagi keterwakilan perempuan serta pembuatan peraturan yang menerapkan pemeberian kuota bagi perempuan di parlemen seperti hal nya yang dilakukan di Rwanda. Dengan dilakukannya perbaikan-perbaikan tersebut, diharapkan kedepannya akan terbentuk critical mass perempuan atau basis kekuatan massa  perempuan yang cukup banyak di parlemen sehingga dapat  menghancurkan diskriminasi gender dan pada jumlah yang substansial dapat menembus benteng utama dalam pembuatan kebijakan sehingga perempuan lebih dapat memperjuangkan kepentingannya sendiri.










DAFTAR PUSTAKA
Australian Bureau of Statistics, Education and Work, May 2008, Catalogue No. 6227.0, ABS, Canberra, 2008, Table 8. The reference population is those aged 15-64 years

Drabsch, T, ‘Women in Parliament: The current Situation,’ New South Wales Parliamentary Library Research Service, Briefing Paper No 9/03 (2003) at p15

Inter-Parliamentary Union, Women in Parliament in 2007: The Year in Perspective, SADAG Publishing, France,
2008 p. 1.

M. Budiardjo,. Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama,Jakarta, 2003,p. 316.

Scott v Gray [1999] HREOCA 15; Orr, G, (2000) ‘The Law Comes to the Party; the Continuing Juridification of Political Parties in Australia,’ 3 Constitutional Law and Policy Review 41 at p45
 Z.Hamid, Sistem Politik Australia, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999,p.50.

Sumber online

Department of foreign affairs and trade,  Women towards equality, (online), 2010, <http://www.dfat.gov.au/facts/women.html>, diakses tanggal 5 Januari 2012

Division for the Advancement of Women, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women, (online),2007,<http://www.un.org/womenwatch/daw/cedaw/reports.htm> diakses tanggal 4 Januari 2012.

Educational Policy Institute, Global Higher Education Educational Policy Institute, Ranking, 2005, <http://www.educationalpolicy.org/pdf/global2005.pdf> diakses tanggal 5 Januari 2012.

Inter-Parliamentary Union, ‘Women in National Parliaments,’ (2011) < http://www.ipu.org/wmn-e/classif.htm> diakses tanggal 4 Januari 2012.


R.E. Matland, International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance ,Meningkatkan Partisipasi Politik Perempuan: Rekrutmen Legislatif dan Sistem Pemilihan,(online),<http://www.idea.int/publications/wip/upload/Chapter3.pdf>diakses tanggal 5 Januari 2012.

Women Electoral Lobby, History of Woman Electoral Lobby, (online),<http://wel.org.au/index.php/who-we-are/our-history/> diakses tanggal 4 Januari 2012.











[1] Division for the Advancement of Women, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women, (online),2007,<http://www.un.org/womenwatch/daw/cedaw/reports.htm> diakses tanggal 4 Januari 2012.

[2] Inter-Parliamentary Union, Women in Parliament in 2007: The Year in Perspective, SADAG Publishing, France,
2008 p. 1.
[3] As of 2010 there will be 101.7 males per 100 females: United Nations Department of Economic and Social
Affairs, Population Division, World Population Prospects: The 2008 Revision Population Database, United
Nations <http://www.esa.un.org/unpp/p20kdata.asp>, diakses tanggal 4 Januari 2012.
[4] Inter-Parliamentary Union, ‘Women in National Parliaments,’ (2011) < http://www.ipu.org/wmn-e/classif.htm> diakses tanggal 4 Januari 2012.


[5] G.A. Almond. ‘Studi Perbandingan Sistem Politik’,  dalam Mohtar Masoed dan Colon MacAndrews(eds),Perbandingan Sistem Politik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2006,p.32.
[6] Z.Hamid, Sistem Politik Australia, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999,p.50.
[7] Inter-Parliamentary Union, ‘Women in National Parliaments,’ (2011) < http://www.ipu.org/wmn-e/classif.htm> diakses tanggal 4 Januari 2012.

[9] Inter-Parliamentary Union, ‘Women in National Parliaments,’ (2011) < http://www.ipu.org/wmn-e/classif.htm> diakses tanggal 4 Januari 2012.

[10] Drabsch, T, ‘Women in Parliament: The current Situation,’ New South Wales Parliamentary Library
Research Service, Briefing Paper No 9/03 (2003) at p15
[11] Z.Hamid, Sistem Politik Australia, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999,p.144-145.

[12]Department of foreign affairs and trade,  Women towards equality, (online), 2010, <http://www.dfat.gov.au/facts/women.html>, diakses tanggal 5 Januari 2012

[13] Australian Bureau of Statistics, Education and Work, May 2008, Catalogue No. 6227.0, ABS, Canberra, 2008, Table 8. The reference population is those aged 15-64 years
[14] Educational Policy Institute, Global Higher Education Educational Policy Institute, Ranking, 2005, <http://www.educationalpolicy.org/pdf/global2005.pdf> diakses tanggal 5 Januari 2012.
[15]R.E. Matland, International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance ,Meningkatkan Partisipasi Politik Perempuan: Rekrutmen Legislatif dan Sistem Pemilihan,(online),<http://www.idea.int/publications/wip/upload/Chapter3.pdf>diakses tanggal 5 Januari 2012.
[16] Women Electoral Lobby, History of Woman Electoral Lobby, (online),<http://wel.org.au/index.php/who-we-are/our-history/> diakses tanggal 4 Januari 2012.
[17] Drabsch, T, ‘Women in Parliament: The current Situation,’ New South Wales Parliamentary Library
Research Service, Briefing Paper No 9/03 (2003) at p21
[18] Wilson, J, ‘Composition of Australian Parliaments by Party and Gender,’ (2009) <www.aph.gov.au>
Diakses tanggal 4 Januari 2012.
[19]  Drabsch, T, ‘Women in Parliament: The current Situation,’ New South Wales Parliamentary Library
Research Service, Briefing Paper No 9/03 (2003) at p31                     

2 komentar: