Paper ini disusun untuk memenuhi tugas pengganti UAS mata kuliah perbandingan politik 2011 lalu, dan mudah-mudahan bisa memberikan sedikit pencerahan bagi teman-teman kelas perpol A yang saat ini sedang giat-giatnya ngerjain papernya hehe. Oh ya beberapa bagan mungkin tidak bisa dibuka, jadi silakan merujuk pada footnote yang saya berikan di bawahnya. Maaf baru bisa ngepost sekarang. Semangat. :"")
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Parlemen atau
bisa juga disebut badan legislatif merupakan suatu badan yang berada disuatu
negara yang merupakan simbol dari rakyat
yang berdaulat. Parlemen di negara-negara demokratis disusun sedemikian rupa
sehingga ia mewakili mayoritas rakyat dan pemerintah bertanggung jawab
kepadanya. [1] Parlemen
dalam suatu negara biasanya memiliki fungsi yang sangat penting seperti
menentukan kebijakan dan membuat undang-undang
serta mengontrol badan eksekutif agar semua tindakan badan eksekutif
sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan. Kebijakan yang dibuat
oleh parlemen ini dapat sangat beragam mulai dari bidang ekonomi, sosial,
budaya dan sebagainya yang tentunya akan secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi kehidupan rakyat banyak. Melihat peran parlemen yang sangat
penting tersebut, maka penting sekali dibutuhkan keseimbangan partisipasi
politik dari anggotanya baik itu perempuan maupun laki-laki. Tetapi sayangnya
saat ini berdasarkan fakta yang ada rata-rata keterwakilan perempuan pada
parlemen di seluruh dunia hanyalah 18,3 persen.[2].
Hal ini ironis sekali mengingat jumlah wanita merupakan setengah dari seluruh
populasi manusia di dunia.[3]
Indonesia
dan Australia sebagai negara yang mengaku demokratis tentunya juga harus peduli
pada tingkat partisipasi politik perempuannya di parlemen. Hal ini dikarenakan berdasarkan
pengalaman menunjukkan bahwa partisipasi perempuan yang rendah di bidang
politik dan pemerintah akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas kebijakan
publik yang responsif terhadap gender yang menyangkut baik laki-laki maupun
perempuan.[4]
Ketika jumlah perempuan yang terlibat di parlemen semakin banyak, maka
diharapkan mereka dapat memperjuangkan kepentingannya sendiri karena pada
dasarnya yang mengetahui kepentingan dari kelompok perempuan adalah mereka
sendiri.
Dalam
paper ini penulis akan membandingkan partisipasi perempuan di parlemen antara Indonesia
pada tahun 2009 dengan Australia pada tahun 2010. Sejak lama kedua negara memang
telah memperjuangkan peningkatan partisipasi perempuannya di parlemen. Bahkan
Indonesia pada awalnya telah membuat kemajuan yang lebih baik dari Australia
yaitu dengan membuat UU pada tahun 2003 yang merekomendasikan parta politik
untuk memberikan kuota sebesar 30 persen bagi perempuan dalam pemilu.[5]
Sedangkan Australia sendiri sampai saat ini bahkan belum bisa memberikan
keberpihakannya pada perempuan sejauh itu dengan memberikan kuota. Hal ini
kemudian menjadi menarik untuk dianalisis ketika data menunjukkan bahwa tingkat
partisipasi perempuan di parlemen Australia lebih tinggi daripada di Indonesia
yan notabenenya telah menerapkan tindakan yang sangat berpihak pada wanita
dengan membuat UU tentang kuota tersebut. Untuk menganalisis permasalahan ini maka penulis merasa penting untuk juga membahas
sekilas mengenai perkembangan partisipasi politik perempuan di parlemen pada
kedua negara di masa-masa sebelumnya untuk mengetahui faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhi perkembangan partisipasi politik perempuan parlemen di kedua
negara setelah itu.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam paper ini
penulis mengangkat satu rumusan masalah utama, yaitu “Faktor apakah yang menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat partisipasi
politik perempuan di Parlemen antara Indonesia tahun 2009 dan Australia tahun 2010?”
1.3
Landasan Konseptual
A. Pendekatan Struktural
Fungsional
Untuk menganalisa permasalahan yang diangkat, penulis menggunakan
konsep Structural Functional Approach.
Pendekatan ini dikemukakan oleh ilmuwan politik Gabriel Almond dan Bingham
Powell. Mereka berargumen bahwa untuk membandingkan suatu sistem politik
sebaiknya tidak hanya melalui strukturnya saja, tetapi juga fungsinya Dengan
memahami fungsi-fungsi yang berjalan dalam struktur tersebut, kita bisa
membandingkan berbagai sistem politik dengan lebih baik. Kita dapat memperoleh
lebih banyak informasi bila kita memisahkan struktur dari fungsi, dan menelaah
hubungan keduanya dalam berbagai sistem politik yang berbeda.[6]
B. Budaya Politik
Budaya Politik
menurut Gabriel Almond adalah pola sikap dan orientasi warganegara terhadap
politik dan pemerintahan kehidupan benegara,
penyelenggaraan administrasi negara, hukum, adat istiadat, dan norma kebiasaan
yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga dapat di artikan sebagai suatu
sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan
publik untuk masyarakat seluruhnya.[7]
1.4 Hipotesis
Penulis berhipotesis bahwa setidaknya ada dua
faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat partisipasi politik
perempuan di parlemen antara Indonesia tahun 2009 dan Australia tahun 2010 :
a. Tingkat kualitas
pendidikan perempuan di Australia yang lebih tinggi dan lebih maju di Australia
telah menyebabkan perempuan disana
memiliki kualifikasi yang lebih baik sehingga pencalonan di parlemen dapat
berjalan dengan lebih lancar. Sedangkan di Indonesia dengan tingkat pendidikan
perempuan yang kurang maksimal, menyebabkan sulitnya perempuan untuk terpilih
di parlemen.
b. Adanya
budaya-budaya yang masih berkembang di masyarakat yang menganggap bahwa politik
adalah urusan laki-laki, dan menganggap wanita lebih pantas memilih urusan lain
saja seperti di bidang rumah tangga, kesehatan dan sebagainya. Budaya-budaya
seperti inilah yang kemudian juga menjadi stereotip dikalangan perempuan
sendiri, sehingga mereka merasa kurangnya berminat untuk terlibat dalam bidang
politik.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Sekilas persamaan antara Indonesia dan Australia
Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya di latar belakang, Indonesia dan Australia
merupakan negara yang demokratis yang telah sejak lama peduli pada peningkatan
keterwakilan perempuan di parlemen. Kedua negara juga telah menyadari akan
pentingnya keterwakilan perempuan di parlemen guna mencapai kepentingannya
serta dapat menyelesaikan berbagai macam permasalahan yang menimpa perempuan,
seperti diskriminasi, kekerasan rumah tangga dan sebagainya. Hal ini salah
satunya terlihat dari komitmen kedua negara yang sama-sama telah meratifikasi Konvensi
PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (The
UN Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women -
CEDAW) yang disahkan dan diterima oleh
Dewan Umum PBB pada tahun 1979.[8]
Selain itu, adanya resolusi yang dihasilkan dalam konferensi perempuan di
Beijing pada 1995 juga telah mendorong pemerintah di berbagai negara termasuk
Indonesia dan Australia untuk berkomitmen meningkatkan jumlah wakil perempuan
dalam parlemen mereka setidaknya sampai 30 % (PBB 1995).
Indonesia dan Australia merupakan negara yang
bertetangga yang telah menjalin hubungan sejak lama. Kedua negara ini dalam
perkembanganya juga cukup membuka ruang bagi partisipasi rakyatnya yang ingin
menyampaikan pendapat mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan kebijakan
yang dibuat di parlemennya. Seperti yang
diketahui, parlemen merupakan pusat segala kegiatan politik bagi Australia, di
lembaga inilah semua keputusan yang menyentuh kehidupan masyarakat,
pemerintahan, dan kenegaraan dibuat. Di lembaga-lembaga ini pulalah
anggota-anggota terpilih dari partai-partai politik utama mendiskusikan dan
sekaligus berdebat tentang semua aturan yang mengikat anggota masyarakat dan
juga sedikit banyak tentunya akan menyumban kepada pembentukan karakter masyarakat Australia. Parlemen Australia terdiri atas dua majelis
yaitu majelis rendah yang disebut dengan House
of Representatives (Hor) dan majelis
tinggi yang disebut senate (senat). [9] Tidak jauh berbeda dengan Australia, parlemen
di Indonesia juga memiliki peranan yang sangat penting. Selain itu dalam
perkembangannya peran parlemen menjadi semakin beragam seperti dari sisi
edukatif dimana parlemen dianggap sebagai forum kerjasama antar berbagai
golongan serta partai dengan pemerintah, dimana beraneka ragam pendapat
dibicarakan didepan umum. Yang membedakan adalah parlemen di Indonesia memakai
satu sistem majelis, yaitu Dewan Perwakilan rakyat (DPR). [10]
2.2 Perkembangan Partisipasi Politik Perempuan di Parlemen
Indonesia
Partisipasi
politik perempuan merupakan suatu hal yang penting demi tercapainya kesetaraan
gender di bidang politik. Dalam
undang-undang Dasar Republik Indonesia sendiri tidak ada batasan mengenai
partisipasi dan keterwakilan politik perempuan Dibandingkan
dengan masa-masa sebelumnya, keterlibatan perempuan dalam kehidupan publik
telah meningkat namun sayangnya partisipasi dan keterwakilan mereka di lembaga
legislatif tingkat nasional maupun provinsi, dan di seluruh lembaga
pemerintahan masih rendah. Sebagai contoh partisipasi perempuan dalam parlemen
pada periode 1992–1997, proporsi perempuan di DPR adalah 12 persen. Sedangkan
pada periode keanggotaan 1999-2004, dari seluruh anggota DPR yang berjumlah 500
orang, hanya 45 orang di antaranya atau 9,9 persen yang perempuan. (Tabel
3.4a). Namun hal yang cukup menggembirakan disini adalah terdapatnya 82 persen anggota DPR perempuan
yang lulus perguruan tinggi. Jumah ini lebih banyak dibandingkan anggota DPR
laki laki dengan tingkat pendidikan yang sama, yaitu 75 persen.[11]
Sejak
dulu sebenarnya partsipasi politik perempuan di Indonesia telah mengalami
berbagai kemajuan dalam perkembangannya. Bahkan gerakan perempuan di Indonesia
telah berhasil melakukan gebrakan yang cukup penting yaitu dengan berhasil mendorong
diberikannya kuota 30% untuk mendorong jajaran
birokrasi dan lembaga legislatif tingkat tinggi.[12]. Hal ini tentunya tidak mudah,
dibutuhkan perjuangan yang berkelanjutan oleh berbagai organisasi perempuan
pada saat itu. Keberhasilan ini
diantaranya merupakan hasil dari lobi kelompok-kelompok kaukus bagi para politisi perempuan yang
dibentuk pada tahun 2000.[13]
Selain itu ada juga dukungan dari organisasi baru lainnya yang ikut bergabung
seperti koalisi perempuan Indonesia dan Centre
for Electoral Reform (CETRO) dalam hal untuk mendorong adopsi kuota
kandidat perempuan ini.[14]
Mereka mengadakan serangkaian seminar yang dipublikasikan dengan baik,
mengeksploitasi kontak media mereka dan membentuk delegasi pada partai-parai
politik dan komisi parlemen. Di dalam parlemen, sebuah kelompok ini kaukus
meliputi 44 orang anggota parlemen perempuan yang menuntut agar 20 sampai 30%
kursi parlemen diperuntukkan bagi perempuan.[15]
Pada awalnya lobby bersama dari 38 komunitas
dan kelompok akademisi, federasi kowani dengan 7 organisasi perempuan
yang menjadi anggotanya serta para politisi lainnya yang berusaha untuk
mendapatkan kuota 30 % dicantumkan dalam UU partai politik (disahkan pada
November 2002), tetapi sayangnya usaha ini gagal dilaksanakan.[16]
Hingga akhirnya koalisi itu kemudian mengusahakan lobby lebih jauh hingga
akhirnya berhasil memasukkan ide kuota dalam UU Pemilihan umum No 12 yang
disahkan pada Februari 2003. Klausulnya dengan kuat merekomendasikan pada
partai-partai politik agar mereka memasukkan setidaknya 30% perempuan dalam
daftar kandidat mereka untuk pemilu legislatif pada tingkat nasional, provinsi
dan distrik.[17]
Hal yang mengecewakan disini adalah
fakta bahwa setelah UU Pemilihan umum No 12 tahun 2003 tersebut dikeluarkan
pun, ternyata pada Pemilu 2004 partai-partai politik tidak memenuhi rekomendasi
30% untuk kandidat perempuan. Bahkan tidak ada satupun partai yang melakukannya
di semua distrik pemilihan. Kegagalan ini setidaknya disebabkan oleh beberapa
faktor seperti kurang suksesnya perekrutan perempuan, serta banyaknya kandidat
yang didiskualifikasi oleh Komisi Pemilihan umum (KPU) karena mereka gagal
memenuhi persyaratan seperti menyediakan dokumentasi yang mencukupi. Selain
itu, tidak adanya sanksi yang tegas bagi partai yang melanggar ketentuan ini
juga menjadi salah satu sebab minimnya keterwakilan perempuan di parlemen.
Hasil pemilu tahun 2004 baru mampu mengakomodasi kursi perempuan sebanyak 10, 7
% atau hanya 28 orang dari 550 anggota parlemen yang menjadi wakil rakyat untuk
periode 2004-2009. [18]
Angka ini jelas belum bisa mewakili power perempuan agar dapat bergerak
lebih leluasa sehingga mampu memperjuangkan aspirasi kaum perempuan secara
keseluruhan.[19]
B.
Partisipasi Politik Perempuan Indonesia di Parlemen pada tahun 2009
Pada perkembangan
selanjutnya, enam tahun sejak dikeluarkannya UU Pemilihan umum No 12 tahun 2003
ternyata memberikan peningkatan pada tingkat partisipasi perempuan di parlemen
pada pemilu tahun 2009. Pada pemilu tersebut, jumlah perempuan yang menempati
kursi diparlemen nasional adalah 101 orang dari 560 kursi yang tersedia.[20]
Terjadi peningkatan
keterwakilan perempuan di DPR RI dibandingkan dengan pemilu 2004,yaitu dari
11,8 persen menjadi 18 persen pada pemilu 2009. Selain itu terjadi juga
peningkatan dalam hal keterwakilan perempuan di DPD RI dari 22,6 persen pada
2004 menjadi 26,5 persen pada pemilu 2009. Hal ini sepertinya juga tidak dapat dilepaskan dari keputusan pemerintah yang
mengeluarkan kebijakan terbaru tentang pemilu yang memperkuat keterlibatan
perempuan dalam politik formal yaitu melalui UU Pemilu Nomor 10/2008. Pada
Pasal 8 ayat (1) butir (d) menyatakan bahwa partai politik dapat menjadi
peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30%
keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.
Legalitas keterlibatan perempuan dalam Pemilu dengan kuota 30% dianggap suatu
kemenangan bagi para pengusung gender yang menyerukan Keadilan dan Kesetaraan
Gender (KKG). Lebih jauh, Pasal 66 ayat 2 UU Nomor 10/2008 juga menyebutkan
KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota juga mengumumkan persentase
keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap parpol pada media cetak harian
dan media elektronik nasional. Sementara di Pasal 2 ayat 3 UU Parpol disebutkan
bahwa pendirian dan pembentukan parpol menyertakan 30% keterwakilan perempuan. [21] Selain itu juga
terdapat UU Partai Politik No. 2/2008 Pasal 2 ayat 5 mengatur bahwa partai
politik harus memberikan 30 persen kuotanya untuk perempuan di dewan pimpinan
pusat mereka.[22]
Tetapi sayangnya, undang-undang
pemilu 2008 ini masih memiliki kekurangan di tingkat substansi, yaitu UU ini
tidak menyebutkan adanya sangsi bagi partai politik yang tidak mematuhinya.
Kekurangan inilah yang kemudian menyebabkan enam dari tigapuluh delapan partai
yang ikut serta dalam pemilu 2009 gagal menominasikan 30 persen calon
legislatif perempuan dalam daftar calon anggota legislatif yang mereka usulkan.[23]
Walaupun begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa peningkatan keterwakilan
perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terjadi pada
pemilu 2009 lalu yang mencapai 18 persen merupakan angka tertinggi keterwakilan
perempuan di sejarah politik Indonesia.
Gambar 2.1[24]
Dari grafik diatas dapat kita lihat dari
tahun ke tahunnya telah terjadi peningkatan persentase wanita yang terlibat di
parlemen Indonesia. Selain itu, terdapat juga variasi persentase perwakilan
perempuan di DPR RI dari berbagai partai politik. Perwakilan perempuan terendah
di DPR RI adalah Partai Keadilan Sejahtera yang jumlahnya 5,3 persen, sementara
Partai Demokrat memiliki keterwakilan tertinggi sebesar 24,3 persen.[25]
Gambar 2.2[26]
C. Perkembangan Partisipasi Politik Perempuan di Parlemen
Australia
Tidak jauh berbeda dengan Indonesia, perkembangan partisipasi
politik perempuan di Australia pun mengalami pasang surut yang cukup
signifikan. Diawali dengan suatu kemajuan yang sangat baik dengan menjadi
negara pertama yang memberikan kesempatan bagi perempuan tidak hanya untuk
memilih tetapi juga dipilih pada tahun 1902, kemudian dilanjutkan dengan
perkembangan yang lambat hingga satu abad kemudian tanpa perkembangan yang
berarti, dan sampai pada tahap kontemporer dewasa ini dimana Australia sudah
semakin matang dalam meningkatkan partisipasi politik perempuannya.
Setelah kemajuan yang sangat baik pada tahun
1902 tersebut, perkembangan partisipasi politik tidak terjadi lagi perkembangan
lanjutan bagi perempuan Australia selama berpuluh tahun. Pada tingkat nasional,
beberapa perempuan mengajukan diri sebagai kandidat tetapi baru pada tahun 1943
terpilihlah seorang perempuan pertama di parlemen pusat.[27]
Terdapat jeda waktu empat puluh satu
tahun antara saat pertama kali
diberikannya hak pilih hingga terpilihnya perempuan ke dalam parlemen. Sedangkan
pada tingkat negara bagian, perkembangannya pun hampir sama lambatnya, hanya
sembilan perempuan yang terpilih.[28]
Sejak awal tahun 1970 an, sebenarnya para perempuan Australia
sudah berusaha untuk meningkatkan partisipasi politikya di parlemen, namun representasi ini
masih kecil dan tidak
proporsional dibandingkan dengan
representasi perempuan dalam
populasi. [29] Hal ini
juga salah salah satunya disebabkan oleh sistem pemilu Australia yang
menganut sistem single majority atau Single Member District
(SMD) sebagai
bagian dari warisan kolonial Inggris yang menghalangi peran perempuan
untuk melangkah maju atau terpih sebagai kandidat. Hal ini disebabkan karena sistem pemilu ini hanya
mengizinkan satu anggota parlemen untuk mewakili satu daerah pemilihan.[30] Sistem ini berlaku bagi pemilihan anggota majelis rendah
federal (House of representatives)
dan sebagian besar parlemen negara bagian. Sedangkan untuk pemilihan senator di
tingkat federal, diberlakukan sistem pemilu proportional
representation atau perwakilan berimbang yang memungkinkan setiap daerah pemilihan
memiliki lebih dari satu anggota parlemen atau yang dikenal dengan sistem multi-member constituency.[31]
Kemudian setelah
perkembangan yang terjadi pada tahun 1970 an, mulai terjadi peningkatan dalam
jumlah anggota parlemen perempuan, pemilihan seorang pemimpin perempuan pada
sebuah partai politik kecil (partai demokrat) serta terpilihnya dua perempuan
sebagai perdana menteri negara bagian. Walaupun
begitu hingga tahun 1996, lebih dari 90% anggota wakil rakyat di House of Representatives atau majelis rendah masih terdiri dari
laki-laki dan tidak pernah ada lebih dari dua orang perempuan menteri dalam
setiap kabinet.[32]
Dengan kondisi seperti itu, Australia tentunya
membutuhkan strategi untuk dapat
meningkatkan partisipasi politik perempuan, dan salah satu cara yang pada saat
itu sudah mulai marak digunakan oleh negara-negara lainnya adalah pemberian
kuota tertentu bagi perempuan untuk dapat menempati posisi di parlemen. Tetapi
sayangnya hal ini tidak semudah itu untuk diterapkan. Hal ini setidaknya disebabkan
oleh kurangnya dukungan partai politik Australia untuk menerapakan pemberian
kuota pada perempuan ini. Satu-satunya partai di Australia yang telah
memperkenalkan kuota untuk meningkatkan partisipasi perempuan adalah
Australian Labour Party (ALP) atau biasa disebut Partai
Buruh Australia . Secara resmi kuota ini
diperkenalkan pada tahun 1994, dimana 35% wanita harus
terpilih untuk kursi yang dapat dimenangkan pada tahun 2002, dan akan
meningkat menjadi 40% pada tahun 2012.[33] Oleh karena itulah ,
tidak heran bila hingga saat ini partai Buruh memiliki tingkat keterwakilan
perempuan tertinggi dengan rata-rata 37%, dibandingkan
dengan Partai Liberal dengan 22,1%
dan Nationals dengan 15,4%.[34]
Sedangkan
partai-partai lainnya seperti Partai liberal dan partai nasional sejak dulu
memang telah menolak untuk memberikan penetapan kuota bagi perempuan walaupun
mereka juga tetap mendukung adanya peningkatan keterwakilan perempuan pada
parlemen. Dalam rangka membantu keterwakilan perempuan, partai-partai ini
lebih fokus pada hal lainnya selain pemberian kuota, seperti mentoring, networking program, dan
seminar keterampilan.[35]
Walaupun memang ternyata strategi ini dirasa kurang berhasil dalam mengatasi
hambatan struktural yang ada, hal ini terlihat
dari masih kurangnya jumlah anggota perempuan dalam partai-partai itu
sendiri maupun dalam keterwakilan anggota perempuannya di parlemen bila
dibandingkan dengan partai buruh.
D. Partisipasi Politik
Perempuan di Parlemen Australia pada pemilu tahun 2010
Sebagai negara yang demokratis, sudah seharusnya
Australia memberikan perhatiannya dalam tingkat partisipasi politik perempuan
demi mencapai kesetaraan gender. Setelah meratifikasi CEDAW atau Konvensi PBB
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Australia
kemudian juga telah membuat Undang
-Undang Diskriminasi Seks 1984 sebagai salah satu cara
untuk menghilangkan diskriminasi pada perempuan, tetapi sayangnya UU ini tidak
secara langsung mencakup mengenai urusan partai politik[36] kecuali
karyawan yang terlibat serta tidak berlaku juga
untuk proses pra-seleksi yang dilakukan oleh partai politi, sehingga
tidak terlalu memberikan dampak pada partisipasi perempuan di partai politik
itu sendiri.[37]
Hal yang menarik disini adalah fakta dimana walaupun
Australia tidak membuat peraturan secara nasional mengenai rekomendasi pemberian
kuota bagi partai politik yang ingin
mengikuti pemilu seperti hal nya yang dilakukan Indonesia, tetapi ternyata
jumlah keterwakilan perempuan di Australia juga terus meningkat. Bahkan
berdasarkan survey yang dilakukan oleh Inter
Parliamentary Union pada 2010 lalu, dari 188 negara
Australia mendapatkan peringkat ke 29 untuk jumlah keterwakilan wanita di HoR
dengan persentase 24, 7 persen dan 35,5 persen kursi untuk senat. Sedangkan
Indonesia tertinggal jauh dibawah Australia pada peringkat ke 65 dengan tingkat
18 persen wanita pada parlemen nasionalnya (DPR) .[38]
Pada pemilu
yang dilakukan pada 2010 lalu, tercatat jumlah wanita di HoR adalah 37 orang
dari total 150 anggota Hor atau setara dengan 24, 7 persen. Sedangkan di senat, jumlah perempuan 27 orang
dari 76 kursi yang ada atau sekitar 35,5
persen kursi.[39] Angka ini tentu saja
mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Dibawah ini
adalah tabel yang menggambarkan jumlah perempuan di parlemen dari tahun ke
tahun.[40]
Gambar 2.3
National Parliament
|
State/Provincial Parliaments
|
Local Government
|
||||||||
Upper House
|
Lower House
|
Upper House
|
Lower House
|
Representatives
|
||||||
Year
|
Female
|
Male
|
Female
|
Male
|
Female
|
Male
|
Female
|
Male
|
Female
|
Male
|
1960
|
5
|
55
|
0
|
124
|
2
|
161
|
1
|
361
|
100
|
n.a.
|
1970
|
3
|
57
|
0
|
125
|
8
|
157
|
4
|
374
|
250
|
n.a.
|
1980
|
6
|
58
|
3
|
122
|
20
|
159
|
16
|
402
|
798
|
n.a.
|
1990
|
18
|
58
|
10
|
138
|
29
|
116
|
45
|
422
|
n.a.
|
n.a.
|
2000
|
22 (28.9%)
|
54
|
34 (23%)
|
114
|
37 (23.6%)
|
120
|
94 (21.4%)
|
345
|
1,745 (26.3%)
|
4,992
|
Dari table di atas terlihat peningkatan jumlah
perempuan di parlemen dari tahun ke tahun. Dibandingkan dengan pemilu 10 tahun
yang sebelumnya yaitu pada tahun 2000, dapat kita lihat bahwa peningkatan jumlah anggota perempuan di House of Representative cukup tinggi,
yaitu dari 23 persen menjadi 24,7 persen. Sedangkan untuk senat atau majelis
tinggi mengalami kenaikan dari 28,9 persen menjadi 35, 5 persen.
Untuk variasi persentase perwakilan perempuan di
parlemen sendiri pada pemilu tahun 2010 yang lalu, partai yang memiliki wakil
perempuan terbanyak di parlemen masih dipegang oleh Australian Labour Party atau partai buruh yang notabenenya memang telah
menerapkan sistem kuota 35 persen untuk perempuan dalam partai politiknya, yaitu
dengan 38,2 persen pada House of Representatives dan 39, persen
pada senat. Sedangkan partai yang perwakilan perempuannya paling sedikit di House of Representative adalah partai
NATS atau The Nationals (sebelumnya National Party of Australia) dengan persentase hanya 7 persen. Sedangkan untuk
senat berhubung jumlah total anggotanya pun tidak sebanyak House of Representatives, maka
rata-rata partai-partai besar telah memiliki wakil yang cukup banyak di senat, sebagai
contoh partai buruh dengan 39,8 persen dan partai liberal dengan 29,3 persen.
Sedangkan kebanyakan partai-partai kecil yang memang hanya memiliki sedikit perwakilan di senat ternyata tidak memiiki keterwakila
perempuan disana. Contohnya adalah Family
First Party dan CDP (Christian
Democratic Party), dimana dari semua wakilnya di senat yang masing-masing
hanya berjumlah orang semuanya ditempati oleh laki-laki.[41]
BAB 3
ANALISIS
3.1 Faktor-Faktor yang
Menyebabkan Perbedaan Tingkat Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia dan Australia
Seperti yang telah diuraikan di pembahasan, terlihat
bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan pada partisipasi politik
perempuan di parlemen antara Indonesia dan Australia yang dibuktikan melalui
pemilu terakhir yang dilakukan kedua negara yaitu pemilu tahun 2009 di
Indonesia dan pemilu tahun 2010 di Australia. Hal yang menarik disini adalah
fakta bahwa ternyata Australia tetap dapat meningkatkan partisipasi politik
perempuannya di parlemen dan bahkan memperoleh peringkat yang lebih tinggi dari
Indonesia walaupun ia tidak menetapkan rekomendasi pemberian kuota gender
secara nasional bagi partai politik yang ingin mengikuti pemilu. Padahal selama
ini pemberian kuota dianggap sebagai hal yang penting dan efektif dalam
meningkatkan partisipasi politik perempuan di Parlemen seperti hal nya yang
terjadi di Rwanda.[42]
Dengan menggunakan pendekatan struktural
fungsionalis, bisa dilihat bahwa walaupun secara struktural Indonesia telah
membuat bukti yang nyata dengan
melakukan Affirmative action atau yang sering didefinisikan sebagai langkah strategis untuk mengupayakan
kemajuan dalam hal kesetaraan dan kesempatan yang lebih bersifat substantif
melalui kuota 30% yang tertuang dalam UU pemilu No 12
tahun 2003, serta diperkuat lagi dengan dikeluarkannya UU pemilu No. 10/2008
dan UU No 2 tahun 2008, tetapi ternyata secara fungsionalis struktur yang ada
ini belum terimplementasikan dengan efektif. Walaupun memang UU ini berhasil
meningkatkan partisipasi politik perempuan di parlemen pada tahun 2009
dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, tetapi ternyata masih ada kekurangan
dalam pencapaian tujuan UU ini, yaitu masih adanya beberapa partai politik yang
tidak bisa memenuhi kuota 30 persen pada partainya. Hal ini diakibatkan karena
tidak adanya sanksi yang tegas bagi partai yang melanggar ketentuan ini,
sehingga peraturan yang telah dibuat ini terkesan kurang efektif. Selain itu, minimnya keterwakilan perempuan dalam
kepengurusan parpol itu sendiri juga berpengaruh pada kebijakan yang diambil
Parpol khususnya dalam mengimplementasikan UU pemilu yang mensyaratkan kuota 30%
bagi perempuan tersebut. Untuk itu perlu ada upaya untuk mendorong adanya
ketentuan UU atau kebijakan lain yang juga mengatur implementasi kuota 30%
dalam badan kepengurusan Parpol. Berdasarkan hasil penelitian yang pernah
dilakukan pada tahun 2004, bahwa 90% pengurus Parpol ternyata tidak sepenuhnya
memahami visi misi Parpol.[43]
Ini artinya proses pendidikan politik dan mekanisme pengkaderan dalam tubuh
Parpol memang masih lemah. Sebagai
contoh yaitu seperti yang terjadi pada UU Partai Politik No. 2/2008 Pasal 2
ayat 5 yang mengatur bahwa partai politik harus memberikan 30 persen kuotanya
untuk perempuan di dewan pimpinan pusat mereka. Data yang dihimpun dari tiga
partai politik besar menunjukkan bahwa tidak satu pun dari mereka yang memiliki
30 persen anggota perempuan yang duduk di dewan pimpinan pusat. Terlebih lagi,
tidak ada informasi mengenai posisi apa yang dipegang oleh para perempuan di dewan pimpinan pusat partai-partai
tersebut. Bahkan, sebagian besar partai politik bahkan tidak memiliki catatan tentang
data keanggotaan mereka.[44]
Dari uraian di atas lagi-lagi dapat kita
simpulkannya bahwasanya parta politik pun sebagai struktur dalam sistem politik
di Indonesia ternyata belum dapat menjalankan fungsinya dengan baik dalam hal
peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen, jadi wajar saja apabila hasil
yang diharapkan dari UU tentang kuota tersebut belum dapat maksimal. Selain
itu, faktor-faktor lainnya yang menyebabkan tingkat partisipasi politik
perempuan di parlemen Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia
adalah sebagai berikut :
a. Tingkat kualitas pendidikan
Tingkat kualitas pendidikan
yang berbeda antara Australia dan Indonesia diyakini telah menjadi salah satu
faktor penyebab perbedaan tingkat partisipasi politik perempuan di parlemen
pada kedua negara. Pendidikan di Australia telah sampai pada perkembangan
dimana lebih banyak
perempuan dibandingkan laki-laki yang dididik di sekolah
menengah dan universitas, dan jumlah wanita yang lulus
dari universitas dengan gelar sarjana pun lebih banyak
dari laki-laki . Pada tahun
2006, perempuan menyumbang 54,8 persen dari semua
siswa pendidikan tinggi dan 47,5 persen dari semua siswa
yang terdaftar dalam pendidikan kejuruan dan pelatihan. [45]
Sedangkan untuk data di perguruan tinggi, pada bulan Mei 2008 lalu,
tercatat 7.470.000 warga Australia yang masuk ke perguruan
tinggi dimana 3.650.000. diantaranya adalah wanita[46]. Persentase wanita
Australia yang duduk perguruan tinggi
ini telah mengalami peningkatan dari yang awalnya
hanya 50,6 persen saja pada tahun 2007.[47]
Dibawah ini adalah grafik yang menggambarkan tingkat perbandingan wanita dan
perempuan di perguruan tinggi.
Gambar 3.1[48]
Dari gambar 3.1 dapat kita lihat bahwa yang berdasarkan
survey dilakukan pada 2009 lalu sarjana merupakan gelar pendidikan perempuan
yang paling tinggi dicapai dalam jenjang perguruan tinggi.
Selanjutnya pada Gambar 3.2 menunjukkan perbedaan
gender yang jelas dalam bidang atau jurusan di perguruan tinggi.
Disini terlihat jurusan manajemen, sosial dan budaya, pendidikan dan kesehatan,
merupakan jurusan utama yang menjadi pilihan perempuan Sedangkan laki-laki
lebih banyak memilih pada bidang-bidang teknologi. Tingginya perempuan yang
mengambil jurusan sosial juga diperkirakan dapat menjadi salah satu pendorong
bagi mereka untuk juga terlibat dalam bidang politik.
Gambar 3.2
Selain itu, pemerintah Australia juga
aktif dalam memberikan kemudahan-kemudahan dalam mengakses pendidikan disana,
seperti biaya pendidikan dan sebagainya, yang mengantarkan Australia pada
peringkat ke 12 negara dengan sistem pendidikan tinggi yang paling terjangkau
berdasarkan Global Higher Education
Report pada tahun 2005. Australia bahkan berada satu tingkat di atas
Amerika Serikat.[49]
Kemudahan-kemudahan ini tentu saja akan membantu memudahkan akses bagi perempuan
untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik.Tingginya tingkat pendidikan pada
perempuan di Australia ini yang menurut penulis menjadi faktor penting yang
membedakan antara Indonesia dan Australia. Dengan kualitas pendidikan yang baik
pada perempuan di Australia tersebut tentunya akan membuat mereka lebih
berkualifikasi untuk mencalonkan diri sebagai anggota parlemen. Selain itu
dengan pendidikan juga dapat membuka pikiran para perempuan di Australia
sehingga mereka semakin tertarik untuk terjun ke dunia politik.
Sedangkan
di Indonesia, Pemerintah Indonesia sebenarnya telah sejak kemerdekaannya pada
tahun 1945 terus mengembangkan sistem pendidikannya, dan wajib belajar 9 tahun[50]
telah dicanangkan sebagai kebijakan nasional pada tahun 1994. Walaupun dalam
perkembangannya Indonesia telah mencapai kemajuan dalam
meningkatkan kesetaraan dan keadilan pendidikan
bagi penduduk laki-laki dan perempuan yang dibuktikan antara lain dengan
semakin membaiknya rasio partisipasi pendidikan dan tingkat melek huruf penduduk perempuan terhadap penduduk
laki-laki, partisipasi perempuan di bidang politik dan legislatif[51]
tetapi tetap tingkat pendidikan ini masih kalah bila dibandingkan dengan
Australia. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh UNICEF, diketahui bahwa
hampir semua anak, baik laki-laki maupun perempuan, masuk sekolah dasar (SD),
dan Angka Partisipasi Murni (APM)[52]
mencapai 93 persen pada tahun 2002, dan belum terlihat jelas adanya kesenjangan
jender. Kemudian Data Departemen Pendidikan memperlihatkan adanya kesenjangan
jender yang signifikan antara jumlah anak laki-laki dan anak perempuan yang
putus sekolah di tingkat SD maupun SLTP.[53]
Kemungkinan anak perempuan untuk putus sekolah lebih besar dibandingkan anak
laki-laki. Di SD, dari 10 anak yang putus sekolah, 6 di antaranya anak
perempuan dan 4 lainnya anak laki-laki. Demikian halnya di SLTP. Kesenjangan
jender antara murid laki-laki dan perempuan yang putus sekolah sedikit lebih
tinggi di sekolah lanjutan atas, yaitu 7 anak perempuan dibandingkan 3 anak
laki-laki (Departemen Pendidikan Nasional, 2002).
Penyebabnya bukan semata-mata ketidakmampuan menjangkau
biaya pendidikan saja, melainkan juga karena kurangnya akses serta pengaruh
lingkungan keluarga. Sebagian masyarakat Indonesia, masih ada yang beranggapan
perempuan sebaiknya fokus mengurus keluarga. Perempuan tidak perlu mengemban
pendidikan tinggi, cukup di tingkat SD dan SMP. Hal-hal seperti inilah yang
kemudian menyebabkan perempuan Indonesia kurang bisa bersaing untuk terpilih di
parlemen. Bahkan untuk mencalonkan diri saja mereka akan terbentur berbagai
macam syarat kualifikasi pendidikan yang mungkin tidak dapat mereka penuhi. Hal
ini ditunujukkan dengan banyaknya calon kandidat perempuan yang
didiskualifikasi oleh KPU pada pemilu 2009 lalu karena disebabkan mereka
gagal memenuhi persyaratan seperti menyediakan dokumentasi yang mencukupi.[54] Kedepannya, pemerintah perlu melakukan perbaikan yang
lebih baik lagi di bidang pendidikan ini khususnya bagi perempuan, mengingat
pendidikan merupakan aspek yang sangat penting guna membentuk pola pikir
masyarakat mengenai politik itu sendiri serta
terbentuknya sumber daya manusia yang berkualitas.
b. Budaya politik di Indonesia
Indonesia merupakan negara dengan budaya
patriarki yang terkadang menganggap perempuan sebagai “warga negara no 2 di
bawah kaum laki-laki” serta masih sering diposisikan sebagai pihak yang harus
bersikap “menerima” tanpa perlawanan (reserve). . Selain itu adanya
sudut pandang secara budaya yan menganggap laki-laki lebih superior
dibandingkan wanita, menganggap wanita lebih lemah dan lebih cocok mengerjakan
hal-hal seperti mengurus rumah dan
sebagainya pada akhirnya telah menyulitkan wanita untuk mendapatkan kedudukan
yang sejajar dengan pria di berbagai sendi kehidupan termasuk politik. Budaya-budaya
dalam masyarakat inilah yang kemudian tertanam di masyarakat dan menjadi suatu
nilai bersama yang pada akhirnya dapat mempengaruhi budaya politik di
Indonesia. Dengan budaya politik seperti itu pada akhirnya menyebabkan perempuan
Indonesia semakin enggan untuk bergabung dan berurusan dengan politik, apalagi
untuk mencalonkan diri sebagai anggota parlemen.
Dengan adanya pandangan mayoritas
masyarakat Indonesia yang cenderung
melihat serta memperlakukan kaum perempuan hanya sebagai pelengkap kaum
laki-laki bahkan dalam tingkat tertentu hanya dilihat sebagai objek semata
tentunya telah menjadi hambatan bagi berkembangnya partisipasi politik
perempuan. Misalnya dalam perekrutan pengurus partai politik atau calon
legislative, rata-rata yang dipilih dan memilih adalah laki-laki, karena
merekalah yang selama ini bisa melakukan upaya-upaya pemberdayaan politik.
Padahal mereka-mereka perempuan yang di daerah inilah yang menjadi tulang
punggung proses pemberdayaan perempuan. Oleh sebab itu, sudah menjadi kewajiban
bersama untuk meluruskan cara pandang budaya yang kurang tepat dalam memahami
dan memandang kaum perempuan sehingga kaum perempuan dapat memainkan peran dan
fungsinya lebih maksimal lagi.
Sedangkan di
Australia budaya-budaya seperti ini tentunya juga ada walaupun memang tidak
sekental di Indonesia. Seperti yang diketahui, kebanyakan Australia adalah
pendatang, dimana warga negara Australia pun sudah sering berintekasi dengan
berbagai pendatang dari belahan dunia lainnya, yang pada akhirnya disadari atau
tidak telah membuat mereka lebih terbiasa dalam menerima adanya
multikulturalisme maupun perbedaan-perbedaan yang ada seperti ini termasuk
masalah gender ini. Bahkan pada tahun 2010 lalu Australia telah memiliki
perdana menteri perempuan pertamanya yaitu Julia Gillard. Selain itu dengan
tingkat pendidikan yang semakin modern dan merata, maka telah memberikan
pemahaman yang lebih baik bagi rakyat Ausralia akan pentingnya kesetaraan
gender dalam parlemen agar kepentingan rakyat dari berbagai lapisan dapat
terpenuhi. Pendidikan yang baik ini juga dapat membuat mereka lebih bisa
menerima perbedaan yang ada dan dapat menerima adanya keterwakilan perempuan
yang lebih banyak lagi di parlemennya selama memang perempuan itu berkualitas
dan pantas untuk menjadi anggota parlemen. Oleh karena kesadaran yang telah
muncul pada rakyat Australia itulah yang kemudian menyebabkan tingkat
keterwakilan perempuan di parlemen Australia dapat lebih tinggi daripada di
Indonesia tanpa harus membuat suatu peraturan nasional yang merekomendasikan
kuota bagi perempuan. Seperti yang diketahui di Australia hanya partai buruh
saja lah yang memberlakukan sistem pemberian kuota bagi perempuan di partainya,
tetapi walaupun begitu partai-partai lainnya pun tanpa harus memberikan sistem
kuota tetap mendukung keterwakilan politik perempuan di parlemen dengan cara
lainnya seperti melakukan mentoring networking program, dan
seminar keterampilan pada wanita. Walaupun memang jumlah perwakilan wanitanya
tidak sebanyak partai buruh, tetapi tetap saja perwakilan perempuan dari partai
mereka serta usaha lainnya yang dilakukannya tersebut tetap menyumbang andil
dalam meingkatkan partisipasi politik perempuan Australia di parlemen.
BAB 4
KESIMPULAN
Partipasi politik perempuan di parlemen merupakan suatu hal yang
sangat penting mengingat parlemen dalam suatu negara merupakan pusat kegiatan
politik yang menentukan kebijakan serta membuat undang-undang yang dapat
mempengaruhi hidup rakyat banyak. Peningkatan partisipasi perempuan di parlemen
ini diperlukan agar kedepannya dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas kebijakan publik yang
responsif terhadap gender yang menyangkut baik laki-laki maupun perempuan.
Selain
itu, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan mengapa tingkat partisipasi
politik perempuan di parlemen antara Indonesia pada tahun 2009 lebih rendah
daripada di Australia pada 2010, padahal
Australia sendiri bahkan tidak menerapkan sistem kuota bagi perempuan dalam
partai politik seperti yang terjadi di Indonesia. Faktor-faktor tersebut yang
pertama adalah karena ternyata undang-undang
tentang pemberian kuota tersebut secara fungsionalis berjalan dengan
maksimal. Hal ini terlihat dari masih banyaknya partai-partai yang belum bisa
memenuhi syarat 30 persen pada calon kandidatnya bahkan setelah uu itu
dijalankan. UU tentang pemberian kuota ternyata kurang mengatur mengenai sangsi
yang tegas bagi partai politik yang terbukti melanggar isi UU tersebut. Selain
itu dari sisi partai politik sendiri juga kurang memberikan dukungan dalam
menerapkan pemberlakuan sistem kuota ini.
Faktor
lainnya dalah tingkat kualitas pendidikan di Indonesia yang lebih rendah
kualitasnya daripada Australia serta
adanya budaya politik di Indonesia yang berawal dari budaya masyarakat yang menganggap
perempuan sebagai orang nomor dua setelah laki-laki dan tidak pantas untuk
berurusan dengan bidang politik. Wanita dianggap lebih pantas untuk mengurusi
hal-hal lainnya seperti mengurus rumah tangga dan lingkungan. Hal inilah yang
kemudian juga turut mempengaruhi kebanyakan pola pikir perempuan Indonesia
sehingga semakin menyebabkan mereka enggan untuk terjun ke dunia politik.
Sedangkan di Australia dengan adanya tingkat kualitas pendidikan yang baik bagi
perempuan disana telah memudahkan mereka untuk dapat mencalonkan diri dan
terpilih menjadi anggota parlemen.
Selain
itu tingkat kualitas pendidikan yang baik juga dapat memberikan pemahaman
kepada masyarakat Australia mengenai pentingnya kesetaraan partisipasi antara
perempuan dan laki-laki dalam parlemen. Sehingga walaupun secara struktural di
Australia belum ada undang-undang secara nasional yang mengatur mengenai
pemberian kuota, tetapi dengan pendidikan yang baik telah memberikan budaya
politik yang baik pula bagi mereka, dimana stereotip tradisional yang melekat
di masyarakat bahwa perempuan lebih rendah daripada laki-laki dan tidak pantas
nya perempuan mengurusi politik telah mulai memudar. Kesadaran yang telah
muncul pada rakyat Australia itulah yang kemudian menyebabkan tingkat keterwakilan
perempuan di parlemen Australia dapat lebih tinggi daripada di Indonesia
walaupun notabenenya disana hanya partai buruh saja yang menerapkan sistem
kuota.
Kedepannya diharapkan pemerintah dapat lebih aktif
lagi dalam meningkatkan pendidikan khususnya bagi perempuan serta memberikan
sosialisasi dan pemahaman yang lebih baik mengenai pentingnya kesetaraan gender
salah satunya dalam hal partisipasi politik perempuan di parlemen. Selain itu
dibutuhkan juga upaya untuk mendorong adanya
ketentuan UU atau kebijakan lain yang juga mengatur implementasi kuota 30%
dalam badan kepengurusan Parpol. Sehingga fungsi yang berjalan pada
struktur parpol maupun UU pemberian kuota pada perempuan itu dapat berjalan dengan maksimal. Dengan
itu, diharapkan kedepannya akan dapat terbentuk critical
mass perempuan atau basis kekuatan massa
perempuan yang cukup banyak di parlemen sehingga dapat menghancurkan diskriminasi gender dan pada
jumlah yang substansial dapat menembus benteng utama dalam pembuatan kebijakan
sehingga perempuan lebih dapat memperjuangkan kepentingannya sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Sumber Buku
Australian Bureau of Statistics, Education
and Work, May 2008, Catalogue No. 6227.0, ABS, Canberra, 2008, Table 8. The
reference population is those aged 15-64 years
Australian Bureau of Statistics, Education
and Work, May 2007, Catalogue No. 6227.0, ABS, Canberra, 2008, Table 8.
Drabsch, T, ‘Women in Parliament: The
current Situation,’ New South Wales Parliamentary Library Research Service,
Briefing Paper No 9/03 (2003) at p15
G.A.
Almond. ‘Studi Perbandingan Sistem Politik’,
dalam Mohtar Masoed dan Colon MacAndrews(eds),Perbandingan Sistem Politik, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2006,p.32
Inter-Parliamentary Union, Women in
Parliament in 2007: The Year in Perspective, SADAG Publishing, France,
2008 at 1.
Jakarta Post,”Women’s Caucus blasted for
self-interests”, The Jakarta Post. 5
November 2001.
Kurniawan,M.N., “No party reaches 30
percent of women running”. The Jakarta
Post. 29 Januari 2004.
M. Budiardjo,.
Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama,Jakarta, 2003,p. 316.
Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan,(online),www.bappenas.go.id diakses
tanggal 4 Januari 2011.
Orr, G, (2000) ‘The Law Comes to the
Party; the Continuing Juridification of Political Parties in
Australia,’ 3 Constitutional Law and
Policy Review 41 at p45
Parawansa,K.I.,”Institution Building:An
Effort to improve Indonesia Women’s Role and Status”. Women in Indonesia:
Gender, Equity and Development. K. Robinson and S. Bessel. Singapore,
Singapore. Institute of Southeast Asian
Studies,2002.
Scott v Gray [1999] HREOCA 15; Orr, G,
(2000) ‘The Law Comes to the Party; the Continuing
Juridification of Political Parties in
Australia,’ 3 Constitutional Law and Policy Review 41 at p45
Whip, R and Fletcher, D.1999. Changing
Characteristics of Women on Local Government
Councils in Australia: 1982-1993.
Z.Hamid, Sistem Politik Australia, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,
1999,p.50.
Sumber Online
Australian Electoral Commision, Women in Political Arena,(online), 28
Januari 2011, <http://www.aec.gov.au/Elections/australian_electoral_history/wopa.htm>,
diakses tanggal 4 Januari 2012.
Australian Government, Departement of
Families, Housing, Community service and indigenous affair, Women in Australia 2009 ,(online),2009
<http://www.facs.gov.au/sa/women/pubs/general/womeninaustralia/2009/Pages/chapter2.aspx>
diakses tanggal 5 Januari2012
C.
Bylesjo & J. Ballington, International IDEA (Institute for Democracy and
Electoral Assistance) , Memperkuat
Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia, <http://www.komunitasdemokrasi.or.id/article/Memperkuat.pdf>
diakses tanggal 4 Januari 2012.
Composition of Australian Parliaments by Party and Gender, 13 October 2011, <http://www.aph.gov.au/library/intguide/pol/currentwomen.pdf>
diakses tanggal 2 Januari 2012.
Department of foreign affairs and trade, Women
towards equality, (online), 2010, <http://www.dfat.gov.au/facts/women.html>,
diakses tanggal 5 Januari 2012
Educational Policy Institute, Global Higher Education Educational
Policy Institute, Ranking, 2005, <http://www.educationalpolicy.org/pdf/global2005.pdf>
diakses tanggal 5 Januari 2012.
Inter-Parliamentary Union, ‘Women in National
Parliaments,’ (2011) < http://www.ipu.org/wmn-e/classif.htm>
diakses tanggal 4 Januari 2012.
Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan,(online),www.bappenas.go.id diakses
tanggal 4 Januari 2012.
Parliament of Australia, Parliamentary Library Briefing Book - Composition of the 43rd Parliament ,2010, <http://www.aph.gov.au/library/pubs/BriefingBook43p/composition-43rd-parliament-figure.htm>
diakses tanggal 4 Januari 2012.
United Nation
Development Program, Partisipasi
Perempuan dalamPolitik dan Pemerintah,(online), 2010, < http://www.undp.or.id/pubs/docs/Women's%20Participation%20in%20Politics%20and%20Government%20-%20Bahasa.pdf>
diakses tanggal 5 Januari 2012.
Wilson, J, ‘Composition of Australian
Parliaments by Party and Gender,’ (2009) <www.aph.gov.au>
Diakses tanggal 4 Januari 2012.
Woman Research
Institute, Delphi Panel : Perempuan dan Politik dalam Era Otonomi
Daerah di Indonesia ( Kuota dan
Desentralisasi) (online), 2008,
<http://wri.or.id/id/penelitian/Penelitian%20Politik%20dan%20Perempuan?q=id/penelitian%20politik%20dan%20perempuan/Delphi%20Panel:%20Perempuan%20dan%20Politik%20dalam%20Era%20Otonomi%20Daerah%20di%20Indonesia>
diakses tanggal 4 Januari 2012.
[1] M. Budiardjo,. Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia
Pustaka Utama,Jakarta, 2003,p. 316.
[2]
Inter-Parliamentary Union, Women in Parliament in 2007: The Year in
Perspective, SADAG Publishing, France,
2008 p. 1.
[3] As of
2010 there will be 101.7 males per 100 females: United Nations Department of
Economic and Social
Affairs, Population Division, World Population Prospects: The 2008
Revision Population Database, United
Nations <http://www.esa.un.org/unpp/p20kdata.asp>, diakses
tanggal 4 Januari 2012.
[4] United
Nation Development Program, Partisipasi Perempuan dalamPolitik dan
Pemerintah,(online), 2010, < http://www.undp.or.id/pubs/docs/Women's%20Participation%20in%20Politics%20and%20Government%20-%20Bahasa.pdf>
diakses tanggal 5 Januari 2012.
[5] Woman Research
Institute, Delphi Panel : Perempuan dan Politik dalam Era Otonomi
Daerah di Indonesia ( Kuota dan
Desentralisasi) (online), 2008,
<http://wri.or.id/id/penelitian/Penelitian%20Politik%20dan%20Perempuan?q=id/penelitian%20politik%20dan%20perempuan/Delphi%20Panel:%20Perempuan%20dan%20Politik%20dalam%20Era%20Otonomi%20Daerah%20di%20Indonesia>
diakses tanggal 4 Januari 2012.
[6] G.A. Almond. ‘Studi Perbandingan Sistem Politik’, dalam Mohtar Masoed dan Colon
MacAndrews(eds),Perbandingan Sistem
Politik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2006,p.32.
[7] M. Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia
Pustaka Utama,Jakarta, 2003,p.41-42.
[8] C. Bylesjo & J. Ballington, International IDEA (Institute for
Democracy and Electoral Assistance) , Memperkuat
Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia, <http://www.komunitasdemokrasi.or.id/article/Memperkuat.pdf>
diakses tanggal 4 Januari 2012.
[9] Z.Hamid,
Sistem Politik Australia, PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung, 1999,p.50.
[10] M. Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu
Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama,Jakarta, 2003,p.327.
[11] Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan
Perempuan,(online),www.bappenas.go.id
diakses tanggal 4 Januari 2011.
[12] S.
Blackburn, ‘Gradualisme versus lompatan demokratik : Keterwakilan politik
perempuan di Australia dan Indonesia’, dalam Chusnul Ma’riyah(eds), Indonesia-Australia Tantangan dan kesempatan dalam hubungan politik bilateral,Granit,Jakarta,2005,
p.149.
[13]
Parawansa,K.I.,”Institution Building:An Effort to improve Indonesia Women’s
Role and Status”. Women in Indonesia: Gender, Equity and Development. K.
Robinson and S. Bessel. Singapore, Singapore. Institute of Southeast Asian Studies,2002.
[14] Jakarta
Post,”Women’s Caucus blasted for self-interests”, The Jakarta Post. 5 November 2001.
[15] ibid
[16]
Kompas,”Keterwakilan politik perempuan,
sebuah perjuangan bersama”. Kompas. 6 Februari 2003.
[17] S.
Blackburn, ‘Gradualisme versus lompatan demokratik : Keterwakilan politik
perempuan di Australia dan Indonesia’, dalam Chusnul Ma’riyah(eds), Indonesia-Australia Tantangan dan kesempatan dalam hubungan politik bilateral,Granit,Jakarta,2005,
p.150.
[18]
Kurniawan,M.N., “No party reaches 30 percent of women running”. The Jakarta Post. 29 Januari 2004.
[19]United
Nation Development Program, Partisipasi Perempuan dalamPolitik dan
Pemerintah,(online), 2010, <http://www.undp.or.id/pubs/docs/Women's%20Participation%20in%20Politics%20and%20Government%20-%20Bahasa.pdf>
diakses tanggal 5 Januari 2012.
[20] Inter-Parliamentary Union,
‘Women in National Parliaments,’ (2011) < http://www.ipu.org/wmn-e/classif.htm> diakses tanggal 4 Januari
2012.
[21] Woman Research
Institute, Delphi Panel: Perempuan
dan Politik dalam Era Otonomi Daerah di Indonesia ( Kuota dan
Desentralisasi) (online), 2008, <http://wri.or.id/id/penelitian/Penelitian%20Politik%20dan%20Perempuan?q=id/penelitian%20politik%20dan%20perempuan/Delphi%20Panel:%20Perempuan%20dan%20Politik%20dalam%20Era%20Otonomi%20Daerah%20di%20Indonesia>
diakses tanggal 4 Januari 2012.
[23]
Partai-partai ini termasuk PPRN, GERINDRA (Gerakan Indonesia Raya), PAN (Partai
Amanat nasional), Partai Republika
Nusantara, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Patriot
[24] Data
dari beberapa Pemilu tidak tersedia baik di Kantor Arsip Nasional maupun di
Sekjen DPR RI. Persentase perempuan terpilih pada pemilu tahun 2009 lebih
rendah dari angka-angka yang muncul di gambar yang lain- karena angka ini
merupakan angka yang diambil pada bulan April 2010. Sementara angka lain di
gambar diatas diambil pada akhir masa periode jabatan. Angka-angka ini
berluktuasi karena adanya pengunduran diri, pergantian antar waktu, dll.
[25] United
Nation Development Program, Partisipasi Perempuan dalamPolitik dan
Pemerintah,(online), 2010, <http://www.undp.or.id/pubs/docs/Women's%20Participation%20in%20Politics%20and%20Government%20-%20Bahasa.pdf>
diakses tanggal 5 Januari 2012.
[26] ibid
[27]
Australian Electoral Commision, Women in
Political Arena,(online), 28 Januari 2011, <http://www.aec.gov.au/Elections/australian_electoral_history/wopa.htm>,
diakses tanggal 4 Januari 2012.
[28] S.
Blackburn, ‘Gradualisme versus lompatan demokratik : Keterwakilan politik
perempuan di Australia dan Indonesia’, dalam Chusnul Ma’riyah(eds), Indonesia-Australia Tantangan dan kesempatan dalam hubungan politik bilateral,Granit,Jakarta,2005,
p.141.
[29] Whip, R
and Fletcher, D.1999. Changing Characteristics of Women on Local Government
Councils in Australia: 1982-1993.
[30] Drabsch,
T, ‘Women in Parliament: The current Situation,’ New South Wales Parliamentary
Library
Research Service, Briefing Paper No 9/03 (2003) at p15
[31] Z.Hamid,
Sistem Politik Australia, PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung, 1999,p.144-145.
[32] S.
Blackburn, ‘Gradualisme versus lompatan demokratik : Keterwakilan politik
perempuan di Australia dan Indonesia’, dalam Chusnul Ma’riyah(eds), Indonesia-Australia Tantangan dan kesempatan dalam hubungan politik bilateral,Granit,Jakarta,2005,
p.141.
[33] Drabsch,
T, ‘Women in Parliament: The current Situation,’ New South Wales Parliamentary
Library
Research Service, Briefing Paper No 9/03 (2003) at p21
[34] Wilson,
J, ‘Composition of Australian Parliaments by Party and Gender,’ (2009)
<www.aph.gov.au>
Diakses tanggal 4 Januari 2012.
[35] Drabsch, T, ‘Women in Parliament: The current
Situation,’ New South Wales Parliamentary Library
Research Service,
Briefing Paper No 9/03 (2003) at p31
[36] Orr, G,
(2000) ‘The Law Comes to the Party; the Continuing Juridification of Political
Parties in
Australia,’ 3 Constitutional Law and Policy Review 41 at p45
[37] Scott v
Gray [1999] HREOCA 15; Orr, G, (2000) ‘The Law Comes to the Party; the
Continuing
Juridification of Political Parties in Australia,’ 3
Constitutional Law and Policy Review 41 at p45
[38] Inter-Parliamentary Union,
‘Women in National Parliaments,’ (2011) < http://www.ipu.org/wmn-e/classif.htm> diakses tanggal 4 Januari
2012.
[39] ibid
[40]
Parliament of Australia, Parliamentary Library Briefing Book - Composition of the 43rd Parliament ,2010, <http://www.aph.gov.au/library/pubs/BriefingBook43p/composition-43rd-parliament-figure.htm>
diakses tanggal 4 Januari 2012
[41] Composition of Australian Parliaments by
Party and Gender, 13 October 2011, <http://www.aph.gov.au/library/intguide/pol/currentwomen.pdf>
diakses tanggal 2 Januari 2012.
[42] Swedia,
Denmark, Norwegia dan Finlandia telah mencapai persentase perempuan di parlemen
antara 36 sampai 45 persen (Inter-Parliament Union,2004)
[43] Woman Research Institute, Delphi Panel: Perempuan dan Politik dalam Era
Otonomi Daerah di Indonesia ( Kuota dan Desentralisasi) (online), 2008, <http://wri.or.id/id/penelitian/Penelitian%20Politik%20dan%20Perempuan?q=id/penelitian%20politik%20dan%20perempuan/Delphi%20Panel:%20Perempuan%20dan%20Politik%20dalam%20Era%20Otonomi%20Daerah%20di%20Indonesia>
diakses tanggal 4 Januari 2012.
[44] United
Nation Development Program, Partisipasi Perempuan dalamPolitik dan
Pemerintah,(online), 2010, <http://www.undp.or.id/pubs/docs/Women's%20Participation%20in%20Politics%20and%20Government%20-%20Bahasa.pdf>
diakses tanggal 5 Januari 2012.
[45]Department of foreign
affairs and trade, Women towards equality, (online), 2010, <http://www.dfat.gov.au/facts/women.html>,
diakses tanggal 5 Januari 2012
[46]
Australian Bureau of Statistics, Education and Work, May 2008,
Catalogue No. 6227.0, ABS, Canberra, 2008, Table 8. The reference population is
those aged 15-64 years
[47]
Australian Bureau of Statistics, Education and Work, May 2007,
Catalogue No. 6227.0, ABS, Canberra, 2008, Table 8.
[48]Australian
Government, Departement of Families, Housing, Community service and indigenous
affair, Women in Australia
2009 ,(online),2009
<http://www.facs.gov.au/sa/women/pubs/general/womeninaustralia/2009/Pages/chapter2.aspx>
diakses tanggal 5 Januari2012.
[49]
Educational Policy Institute, Global
Higher Education Educational Policy Institute, Ranking, 2005, <http://www.educationalpolicy.org/pdf/global2005.pdf>
diakses tanggal 5 Januari 2012.
[50]
Indonesia sejak tahun 1994 menetapkan bahwa pendidikan dasar waj ib lamanya
sembi lan tahun: enam tahun di sekolah dasar (untuk anak usia 7-12
tahun) dan tiga tahun di sekolah lanjutan per tama (usia 13-15
tahun).
[51] Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan
Perempuan,(online),www.bappenas.go.id
diakses tanggal 4 Januari 2011.
[52] APM
adalah jumlah anak kelompok usia ter tentu yang duduk di bangku sekolah
dibandingkan dengan jumlah seluruh anak dalam kelompok usia
tersebut. Untuk pendidikan
di sekolah dasar, kelompok usia anak-anaknya adalah 7-12 tahun, sedangkan untuk
pendidikan di sekolah lanjutan
pertama, kelompok usianya 13-15 tahun.
[53] Angka
putus sekolah adalah perbandingan antara jumlah anak yang berhenti sekolah pada
saat tahun ajaran masih berlangsung, termasuk mereka
yang sudah lulus tetapi tidak meneruskan ke jenjang berikutnya,
dari jumlah seluruh anak yang terdaftar di sekolah pada tahun ajaran tersebut.
[54] United Nation
Development Program, Partisipasi
Perempuan dalamPolitik dan Pemerintah,(online), 2010, < http://www.undp.or.id/pubs/docs/Women's%20Participation%20in%20Politics%20and%20Government%20-%20Bahasa.pdf>
diakses tanggal 5 Januari 2012.